Sabtu, Januari 11

Apalah Arti Sebuah Nama

Sebetulnya saya tidak selalu ingin menceritakan diri saya sendiri. Saya sebagai obyek, bukannya subyek. Tapi topik agak simple ini rasanya unik dan cukup mendesak saya untuk akhirnya menulis dan membagikannya ke kalian, para pembaca.

Ini tentang nama saya: Shabrina Tamimi

mungkin ketika orang berkenalan dan ketika namanya ditanyakan, ia menggoda dengan menjawab: apalah arti sebuah nama

yaampun please deh tinggal nyebut nama aja susahnya minta ampun.

Sejak saya lahir dan tercatatkanlah secara resmi dalam acara aqiqahan nama saya. Sejak itu pula saya memiliki nama panggilan: Tami. Dimulai dari sepupu-sepupu saya yg lebih tua memanggil 'dek Tami', atau yang lebih muda dengan 'mbak Tami'. Lalu saya mempunyai teman-teman sebaya yang meneriakkan 'TAAAM, TAAAAAMI! (jeda) TAAAAM, TAAAAAMI!' (dengan nada yang sama layaknya anak seantero negri ini memanggil nama temannya) di depan pintu rumah ketika mereka mengajak saya untuk bermain di kebon tetangga atau hanya halaman rumah saja. Beranjak ke SD lokal yang muridnya sekelas cuma 25 anak, nama saya tetaplah Tami. Tami yang pada akhirya mengikuti jejak kakak masuk pesantren di Solo. Teman-teman baru dan suasana yang amat sangat baru bagi saya, entah kenapa di mungkin di tahun ketiga saya mendapat julukan Tim-Tam karena seorang teman yang iseng iseng panggil saya pake merk coklat. Mungkin kala itu saya masih semanis dan serenyah biskuit coklat Tim-Tam :9.

Masuk ke masa SMA yang semakin jauh merantau ke Tangerang, entah siapa yang memulai, beberapa teman mulai memanggil nama: Temi. Mungkin itu salah satu cara membuat 'gaul' sebuah nama. Saya terima-terima aja karena kayanya emang jadi tambah gaul ya haha. Atau mungkin karena ada nuansa 'baru' dalam nama Temi, anak muda cenderung suka sama yang baru-baru kan? Panggilan jadi beragam, ada yang nambah huruf 's' kalo manggil : 'teeeeems, lo udah ngerjain tugas beloom?' (gila gaul banget gak sih) atau nge-inggris-in pelafalan huruf 'i' : "temaaaai gue pinjem catetan lo dong!" atau manggil lengkap nama belakang saya: 'tamimiiii! lo harus dengerin lagu barunya si A!'. Selain itu beberapa orang guru mengenal saya dengan : Shabrina. Yaiyalah kan guru biasanya cuma mengenal muridnya dengan nama depan yang biasa dilihat di daftar absen.

Lalu sebuah 'masalah' (it's not a problem actually) muncul ketika saya masuk dunia perkuliahan. Satu angkatan ada dua anak yang namanya Tami. Kala itu kami semacam membuat perjanjian siapa yang mau dipanggil Tami? atau dua duanya saja biar seangkatan jadi chaos manggil Tami yang mana yang nengok yang mana. Setelah dipikir-pikir, saya masih menganggap nama Temi lebih gaul dari Tami haha. Jadi saya semacam 'mengalah' yaudah deh kamu aja yang dipanggil Tami. Lagian seiring berjalannya waktu Tami yang satu ternyata lebih tenar di kalangan kampus, jadi saya mungkin tidak dianggap kalo masih pake nama Tami haha (bercanda tam!) dari sini saya mulai terbiasa memanggil nama diri saya sendiri (loh?) maksudnya nggak reflek nengok kalo ada yang manggil 'tam!' saya mulai tahu rasanya berbagi nama dengan orang lain haha. lagipula teman-teman kos masih memanggil saya Tami, jadi harus terbiasa bahwa saya adalah Tami di kosan dan Temi di kampus. (kok ribet ya)

Ini sebelum akhirnya saya masuk klub mapala, yang punya tradisi ngasih nama baru bagi anggota barunya. Ada tata cara pemberian namanya loh, biasanya nama seorang anggota mula berhubungan dengan apa yang dilakukannya ketika proses pendidikan dasar. Oke ini sebetulnya sejarah yang memalukan, karena saya sempat jatuh ke jurang yang ajaibnya tidak merusak suatu apapun dalam fisik saya kecuali muka yang sedikit lebam. Sekitar mata kiri saya menghitam seperti habis ditonjok orang. Lebam sama dengan bengep. Jadilah nama julukan saya: Bengep (jangan ditiru ya ngasih nama-nama beginian). Dan ini hanya dikalangan mapala kok, jadi jika saya berkenalan dengan anak mapala lain nama saya tetap bengep. Hampir semua mapala di Indonesia memakai tradisi begini. Jadi saya tidak malu untuk berkenalan dengan nama demikian, karena ternyata ada yang lebih aneh lagi, seperti: jamban (saya ngakak waktu kenalan), atau sapi, atau kopet, atau nama-nama yang (mungkin) menjijikkan lainnya. Sebetulnya tradisi beginian juga semakin mengakrabkan hubungan antar teman-teman mapala. Seru loh! Tapi lagi-lagi entah siapa yang memulai, mulailah ada tambahan 'dek' di depan nama lapangan saya: dek beng (dua huruf terkhir dihilangkan). Sebetulnya saya makin bingung dengan nama panggilan saya, tapi saya tetap terima-terima saja karena tidak terlalu peduli juga. Semacam punya rasa 'terserah deh mau dipanggil apaan'. Bahkan di dalam dunia mapala pun saya punya dua panggilan.

Belum selesai teman-teman. Suatu ketika saya masuk ke dunia caving yang orang-orangnya nggak cuma dari kalangan mapala, ada beberapa orang yang mungkin lebih dewasa dan menghargai orang untuk tidak memanggil nama lapangan. Beberapa orang (tanpa saya minta) memanggil saya Shabrina. Mungkin berawal dari daftar nama absen pada suatu kursus, saya mulai dipanggil shabrina meski saya memperkenalkan nama lapangan saya: Bengep (kalo udah gini saya jadi tampak bodoh tetap kenalan dengan nama 'menjijikkan'). Dipanggil Shabrina di hari-hari biasa (bukan cuma absen) sejujurnya hal baru bagi saya. Entahlah, aura nama 'Shabrina' kayaknya lebih berharga daripada 'Tami', 'Temi', apalagi 'Bengep'. Mungkin kalo dibikin kasta, kasta nama Shabrina lah yang paling tinggi haha. Seolah kalau orang manggil 'Shabrina' saya akan memperbaiki sikap dan nggak bisa seurakan kalau dipanggil 'Bengep'. Masih ada bawaan bahwa yang memanggil nama Shabrina adalah kalangan guru yang tentunya lebih saya hormati ketimbang teman-teman sebaya. Oke, sejak itu dalam perkenalan-perkenalan di antara orang-orang caving, saya mulai menyebut Shabrina sebagai nama saya.

Wow, di jaman kuliahan saja saya udah punya lebih dari 3 nama. Dan pada akhirnya saya merasa, di setiap nama panggilan saya, seolah ada karakter yang berbeda. Tami yang dikenal teman-teman SMA saya tentu akan jauh berbeda dengan Bengep yang dikenal teman-teman mapala. Temi yang dilihat teman kampus juga pasti beda rasanya ketika dilihat teman-teman ketika SD. Apalagi nama baru Shabrina, seolah saya harus menjelma menjadi lebih bijaksana. Seolah ada 'tanggungan' di setiap nama panggilan saya. Atau sebetulnya saya hanya bingung dengan beberapa nama tersebut?

Ya, jujur saya bingung.

Coba bayangkan, ketika saya telah beranjak lebih tua dan berada di komunitas baru yang mana keluar dari hingar-bingar perkuliahan. Maksud saya, orang-orang yang benar-benar baru tanpa ada relasi sebelumnya. Dan ketika orang itu menjulurkan tangan menyebutkan namanya, lantas saya akan terdiam beberapa detik untuk memikirkan tepatnya nama apa yang akan saya sebut. Nama kecil saya, atau nama bijaksana saya (haha), yang pasti bukan nama lapangan. Atau saya akan membuat nama baru?

Adakah saran??

Atau lebih baik saya bilang: TERSERAH!

Pada akhirnya, saya mengerti. Mungkin kalimat tanya 'apalah arti sebuah nama?' itu benar adanya. Saya bisa jadi berbeda dengan saya ketika kecil. Bahkan berbeda dalam waktu yang sama saat berada di kos dan di kampus. Saya orang yang sama dengan 'saya' yang lain. Yang membedakan itu hanya sikap apa yang wajar jika dilakukan pada suatu stuasi dan kondisi tertentu. Saya nggak mungkin bisa benar-benar mengabaikan 'kewajaran' yang dianut umat manusia bukan? Meski begitu saya tetaplah orang yang sama dengan saya yang lalu. Dengan julukan nama apapun, saya masih sama bagi saya sendiri. Hanya sedikit banyak bertransformasi menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Jadi apa arti sebuah nama bagimu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo sini dikomen dikomeen :)