Di perjalanan
pulang kembali ke Ambon, ketika saya dan tim akan meninggalkan pulau ini saya
berpikir untuk menuliskan semua hal yang terjadi selama enam minggu kebelakang.
Ketika kapal cepat penyeberangan keluar Pulau Seram akan segera berangkat pukul
14.00, tanpa disadari ada air mata yang menitiki sudut mata saya. Kenapa
perpisahan selalu diiringi dengan haru, dan kenapa 7 rekan saya justru tampak
baik-baik saja? Mungkin setiap manusia akan berbeda dalam menyikapi
‘perpisahan’. Saya pun sesungguhnya tidak mengerti apa yang ditangisi. Saya
hanya tidak menyangka 6 minggu ini terlalui begitu saja. Ada harga yang harus
dibayar untuk mendapatkan sesuatu. Dan kami telah membayar semuanya untuk
mendapat sebuah pengalaman luar biasa. Sejak awal memulai perjalanan lalu
memasuki pedalaman hutan Binaiya dan bertemu orang-orang yang membuat kami
belajar bertahan hidup, hingga akhirnya turun dan menemukan peradaban kembali. Dan
di kapal yang akan segera melaju ini, melalui laut yang akhirnya memisahkan
kami dengan Pulau Seram, kami mengakhiri kegiatan pelaksanaan ekspedisi SATU
BUMI. Saya kira semua ini harus dituangkan dalam sebuah tulisan yang patut
dibaca, orang-orang biasa menyebutnya: berbagi pengalaman. Walau saya masih
berpikir keras untuk meringkas semua hal-hal yang terjadi menjadi tulisan yang
tidak terlalu panjang. Jadi di sinilah, di blog pribadi saya, saya akan mencoba
bercerita tentang perjalanan yang saya dan 7 orang lain alami. Tentunya cerita
versi saya sendiri, gaya bahasa dalam perspektif saya yang mungkin tidak sama
dengan teman tim saya. Terimakasih untuk mau membacanya.
NB: Foto-foto yang ditampilkan
sebagian besar diambil oleh tim dokumentasi
28 Agustus – 1 September 2013
“Across The Ocean”
the great Lambelu ship
barang bawaan kami (sumpah itu berat)
Kami
baru menaiki kapal Lambelu pukul 07.00
WIB pagi harinya namun harus menunggu 2 jam lagi untuk proses loading-unloading dan kapal baru benar
benar berjalan pukul 10.30 WIB. Sayangnya kami tidak mendapatkan tempat cukup
layak. Status “ekonomi” membuat kami harus berebut tempat bersama ratusan
penumpang ekonomi lain. Kapal yang datang dari Jakarta ini telah mengangkut
cukup banyak penumpang dan membuat kami harus “ngemper” lagi diantara
barang-barang yang tidak seharusnya berada di lorong lorong kapal. Belakangan
kami mendapat tempat di dek setelah beberapa penumpang turun di Makassar. Semua
dek kapal telah penuh, lorong-lorong juga penuh orang dan barang, bahkan hingga
ke tangga-tangga. Saya khawatir jangan-jangan kapal ini overloaded dan bisa tenggelam di laut lepas.
barang-barang yang sembarang saja diletakkan hingga ke tangga-tangga
tempat kami sebelum akhirnya pindah ke yg lebih layak |
beranda kapal
Port of Bau-Bau, anak-anak 'memamerkan' kebolehannya mendayung
when we got bored, we sat there to enjoy the wind, and sun
Musholla, the most comfort place in the whole ship
our deck
ratusan orang yang berebut dan saling mendorong, jangan sampe jatuh ke lautan itu!
Kedatangan kami di Ambon disambut dengan gerimis dan langit yang sudah gelap. Dan karena gelap jadi kami memutuskan untuk menginap semalam di pelabuhan dan baru esok paginya berangkat ke Pulau Seram. Kami makan malam nasi padang yang enak luar biasa setelah selama ini hanya ikan mentah. Lalu mencari kamar mandi di masjid Agung. Ambon baru saja terkena bencana banjir badang. Terlihat di jalan jalan masih tersisa lumpur dan sampah yang menggenang. Beberapa orang sedang membersihkannya dengan semprotan air. Saya akhirnya mandi setelah 5 hari yang lalu tidak berani ke kamar mandi.
Kedatangan kami di Ambon disambut dengan gerimis dan langit yang sudah gelap. Dan karena gelap jadi kami memutuskan untuk menginap semalam di pelabuhan dan baru esok paginya berangkat ke Pulau Seram. Kami makan malam nasi padang yang enak luar biasa setelah selama ini hanya ikan mentah. Lalu mencari kamar mandi di masjid Agung. Ambon baru saja terkena bencana banjir badang. Terlihat di jalan jalan masih tersisa lumpur dan sampah yang menggenang. Beberapa orang sedang membersihkannya dengan semprotan air. Saya akhirnya mandi setelah 5 hari yang lalu tidak berani ke kamar mandi.
2 – 5 September 2013
“East of Indonesia”
Tidak
pernah menyangka untuk menginjakkan kaki di timur Indonesia, dengan waktu 2 jam
lebih cepat daripada di Jawa. Suasana yang berbeda, dengan wajah-wajah timur di
sekitar yang hampir susah membedakan satu sama lain. Logat yang sedikit keras.
Dan pagi ini kami langsung menaiki 2 angkot yang membawa kami ke pelabuhan
Tulehu di ujung pulau lalu naik kapal cepat menyeberang ke pulau tujuan. Hanya
ada 2 kali keberangkatan kapal cepat dalam satu hari, pukul 09.00 dan 14.00. berangkat pukul 09.20 WIT dengan tiket Rp
110.000,00 setiap orang. Laut sedang tidak bersahabat, sedikit gerimis dan
gelombang cukup membuat beberapa orang muntah di kapal itu. Saya habiskan waktu
dengan tidur dan 2 jam kemudian sampailah kami di pelabuhan Amahai. Kami begitu
mencolok dengan barang bawaan yang super banyak. Gerimis reda dan kami langsung
naik angkot menuju ibu kota Pulau, Masohi. Jalanan di Masohi begitu sepi, pasti
sangat berbeda dengan jalur mudik pantura yang saat ini masih padat merayap.
Tujuan kami di Kota Masohi adalah Mess Balai Taman Nasional Manusela. Mess ini
sebuah rumah bagi para pegawai balai yang katanya masih bujang. Namun ternyata
sepi karena semua sedang mudik.
Kebetulan
Taman Nasional juga sedang kedatangan tamu dari IPB (Himakova) dengan jumlah peserta
80 orang. Mereka sedang berkegiatan di lapangan sehingga beberapa orang TN juga
tengah menemani mereka. Di Masohi kami mempersiapkan segalanya, logistik,
konsumsi, surat izin masuk TN, transportasi, dll. Meski Masohi itu kecil, tapi
pusat kotanya tertata dengan rapih dan masih hijau. Katanya Pak Sukarno yang
merangcang tata kotanya. Siang itu kami langsung berjalan menuju Kantor Taman
Nasional Manusela untuk meberitahu tujuan kami juga mengurus simaksi. Di Kantor
kami disambut dengan hangat oleh beberapa pegawai, lalu kami mempresentasikan
secara lisan tujuan dan program-program yang akan kami lakukan selama satu
bulan lebih. Mereka heran di saat semua orang kembali ke kampung halaman kami
malah pergi menjauh menuju pedalaman yang bahkan penduduknya tidak merayakan lebaran.
Kami
berangkat menuju Masihulan,yang terletak di daerah Seram bagian utara.
Masihulan merupakan desa dimana terdapat
basecamp yang berfungsi
sebagai Pusat Informasi TN, gerbang
utama sebelum menaiki Gunung Binaiya jalur utara. Dengan menggunakan truk
tronton milik Kabaresi, dimana yang menyupir adalah tentara terlatih. Jadilah
truk berjalan rock ‘n roll di jalan
yang berkelok-kelok naik turun bukit, melintasi belantara gelap gulita karena
tidak ada lampu jalanan. Sesekali kami melihat pohon yang penuh dengan
kunang-kunang (karena waktu itu malam hari). Kami tiba di Pusat Informasi tengah
malam dan di sana sudah penuh dengan anak Himakova IPB yang baru selesai
berkegiatan. Jadi kami memang saling bergantian, mereka besok kembali ke kota
dan kami baru memulai kegiatan.
6-11 Agustus 2013
“Lumpur Jahanam”
Masih
dengan truk, esok paginya kami berangkat menuju ke halte Huaulu yang merupakan
pintu masuk jalur pendakian. Disitulah sinyal terakhir yang bisa kami akses,
dan saya berpamitan kepada keluarga saya karena sebentar lagi lebaran dan saya
tidak mungkin bisa menghubungi mereka selama sebulan ke depan. kami langsung
berjalan kaki menuju desa pertama, Huaulu, yang jaraknya sekitar 5 Km dari
halte. Awalnya jalan terasa biasa saja karena medan yang datar-datar saja.
Namun ternyata beban yang saya bawa, carrier
80 L di belakang dan daypack di
depan, semakin lama semakin terasa berat. Mungkin ini beban terberat yang
pernah saya bawa, begitu pun 2 rekan perempuan saya (karena yang laki-laki
tampak biasa saja). Khawatir terjadi kelainan pada boyok, kami bertiga
memutuskan untuk menyewa satu porter khusus untuk barang kami pada perjalanan
berikutnya. Jalanan juga agak becek karena hujan, dan kami juga harus
menyeberangi sebuah sungai yang jembatannya rusak. Mau tidak mau harus
nyemplung, untung tidak terlalu dalam.
Ketika
sampai di Desa Huaulu, semua penghuni rumah seolah melongokkan kepalanya dengan tatapan oh ada tamu dari luar. Mereka sudah terbiasa dengan kedatangan orang asing. Yang saya kagumi dari desa ini
adalah kecantikan rumah-rumahnya. Konon, meski yang paling dekat dengan kota,
Huaulu justru yang paling menjaga keaslian adat istiadatnya. Masyarakatnya
masih animisme, dan rumah-rumahnya juga begitu menarik bagi saya. Tipikal rumah
panggung dengan dinding terbuat dari pelepah sagu. Dan ketika kami singgah di
sebuah rumah yang paling besar di desa itu, beberapa bapak sedang membuat atap
dari daun sagu. Mereka bergotong royong membantu membangun sebuah rumah yang
belum beratap milik seorang keturunan Papua. Tempat kami singgah bernama
bale... Kami memesan porter dari desa Masihulan, namun karena esok harinya
porter yang kami sewa belum juga datang, kami menetap di Huaulu selama 2 hari.
Tanggal
8 yang merupakan hari besar umat muslim, kami masih di Huaulu. Dan suasana
begitu sepi karena desa ini tidak merayakan Idul Fitri. Cukup sedih, tapi
tentunya ada pemaknaan lebih berlebaran dalam situasi seperti ini. Perayaan
kami hanya sebatas maaf maafan sesama tim. Mama yang punya rumah memasakkan kami
papeda. Lalu pendakian pun dimulai kembali, tujuannya adalah camp Wasamata. Medan yang dilewati
adalah sungai, bukan sekedar menyeberangi tapi justru menyusuri lika liku
sungainya selama satu jam. Karena hari itu hujan, beberapa bagian sungai
menjadi terlalu dalam dan membuat kami harus menunggu hingga surut. Bahkan di
sungai sebelum memasuki desa Roho, debit air terlalu deras sehingga
penyeberangan menjadi lebih ekstrim. Kami membuat lifeline dari sambungan 6 webbing
untuk menyeberangi sungai karena memang tidak ada jembatan. Perjalanan ke desa kedua, Roho, yang
harusnya ditempuh 4 jam molor menjadi 6 jam.
it's Huaulu village, such a peaceful place
Huaulu people
Keberangkatan
selanjutnya adalah ke Kanikeh, desa tujuan kami. Namun karena beban yang masih
saja berat, kami tidak bisa langsung ke Kanikeh pada hari itu dan menginap
semalam di camp Wasamata. Perjalanan
dari Roho ke Wasamata bisa dibilang yang paling tidak menyenangkan. Kami harus
berjalan 8 km di medan yang datar, hutan tropis yang panas, penuh pacet dan
lumpur. Ini mimpi buruk bagi saya, karena pacet adalah hal yang paling saya hindari
ketika pendakian. Jalur yang membuat kami stress.
Jalan jalan dan jalan sampai bodoh. Tidak cukup menyenangkan dengan keparnoan
saya terhadap pacet sehingga saya memilih jalan terus ketimbang istirahat
duduk. Akhirnya sampai di camp Wasamata
dimana terdapat sebuah bangunan shelter
yang dibuat pihak TN. Wasamata adalah nama sebuah sungai jernih dan indah.
Semua sungai yang ada di sini cantik-cantik. Pada malam harinya teman saya
berburu udang di sungai ini dan hasilnya lumayan, dapat satu plastik kresek
untuk lauk.
Perjalanan
ke Kanikeh dilanjutkan esok paginya, dan yang saya ingat hanya lumpur.
Lumpurnya tiada ampun, kadang memakan sepatu, kadang kami terpeleset. Mungkin
predikat gunung paling berlumpur cocok diberikan kepada Gunung Binaiya. Lebih baik
menggunakan sepatu boot ketimbang sepatu trekking.
Berakhirnya perjalanan kami ditandai dengan sebuah jembatan mengagumkan terbuat
dari bambu. Jembatan ini menyeberangi sungai Huaule, sungai yang menghidupi
Desa Kanikeh. Jembatan itu bukti kearifan lokal terhadap bahan bahan alam
terutama bambu super besar, dan seolah didukung alam semesta dengan perkuatan
pohon besar yang saling berseberangan. Tali-tali rotan yang mengikat di setiap
sambungannya. Hmm, teman-teman arsitek saya pasti akan mengaguminya jika mereka
sempat melihat.
amazing bridge made from bamboo
Akhirnya
sampai di Kanikeh pada sore hari yang rintik, dengan semua pandangan masyarakat
tertuju pada kami dan kami sudah terbiasa dengan tatapan itu. Kanikeh juga
tidak kalah mengagumkan dari 2 desa sebelumnya, hamparan rumput yang lebih
luas, dan diapit dua gunung di selatan dan utara. Jumlah rumah disini lebih
banyak, sekitar 54 unit dengan berbagai macam tipe. Di ketinggian 600 mdpl,
udaranya cukup membuat kami menggigil sore itu dengan baju kami yang basah dan
kotor oleh lumpur. Desa Kanikeh yang normalnya ditempuh dalam waktu 3 hari dari
halte, menjadi 5 hari karena satu dan lain hal. Dan disinilah akhirnya kami
akan berkegiatan selama 3 minggu.
Kanikeh Village
Childern of Kanikeh
Ps: Untuk membaca bagian selanjutnya ada di link berikut:
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 2)
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 3)
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 3)
Mantap
BalasHapusAmbon adalah surga
dari Pelabuhan Tulehu - Pulau Seram hanya ada kapal cepat?? kalau kapal feri??
BalasHapuskok ga ada bagian 2 nya mbak? :D
BalasHapusEalah ada yang nanyain juga hahahaha, duh, sebenernya sebagian lanjutannya udah ada yg ditulis. Tapi kok... udah terkubur, beserta niatnya juga... :(
Hapusmbak. boleh minta kontaknya? atau mungkin bisa email saya di widiantoindra@icloud.com saya ingin tanya-tanya lebih banyak dan detail terkait perjalanan ke binaiya. saya domisili jogja. maturnuwun.
BalasHapusyaampun baru sadar ada komen ini, btw itu sudah cukup lama dan saya sendiri tidak begitu ingat detailnya. Kemungkinan ongkos dll nya sudah pasti berubah juga kan. Bisa main ke mapala satu bumi kalau mau pinjam laporan lengkap perjalanannya, hehe
Hapusassalamualaikum mbak tami,saya dari mahasiswa universitas Riau tertarik dengan cerita yang mbak buat.btw saya bisa minta kontak mbak untuk menanyakan beberapa hal mbak?
BalasHapushalo, mohon maaf baru lihat komennya, boleh banget kalo mau nanya-nanya, kirim aja email ke tamishabrina@gmail.com nanti bisa tukeran kontak via email :)
Hapus