Sabtu, Oktober 12

Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 1)



Di perjalanan pulang kembali ke Ambon, ketika saya dan tim akan meninggalkan pulau ini saya berpikir untuk menuliskan semua hal yang terjadi selama enam minggu kebelakang. Ketika kapal cepat penyeberangan keluar Pulau Seram akan segera berangkat pukul 14.00, tanpa disadari ada air mata yang menitiki sudut mata saya. Kenapa perpisahan selalu diiringi dengan haru, dan kenapa 7 rekan saya justru tampak baik-baik saja? Mungkin setiap manusia akan berbeda dalam menyikapi ‘perpisahan’. Saya pun sesungguhnya tidak mengerti apa yang ditangisi. Saya hanya tidak menyangka 6 minggu ini terlalui begitu saja. Ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu. Dan kami telah membayar semuanya untuk mendapat sebuah pengalaman luar biasa. Sejak awal memulai perjalanan lalu memasuki pedalaman hutan Binaiya dan bertemu orang-orang yang membuat kami belajar bertahan hidup, hingga akhirnya turun dan menemukan peradaban kembali. Dan di kapal yang akan segera melaju ini, melalui laut yang akhirnya memisahkan kami dengan Pulau Seram, kami mengakhiri kegiatan pelaksanaan ekspedisi SATU BUMI. Saya kira semua ini harus dituangkan dalam sebuah tulisan yang patut dibaca, orang-orang biasa menyebutnya: berbagi pengalaman. Walau saya masih berpikir keras untuk meringkas semua hal-hal yang terjadi menjadi tulisan yang tidak terlalu panjang. Jadi di sinilah, di blog pribadi saya, saya akan mencoba bercerita tentang perjalanan yang saya dan 7 orang lain alami. Tentunya cerita versi saya sendiri, gaya bahasa dalam perspektif saya yang mungkin tidak sama dengan teman tim saya. Terimakasih untuk mau membacanya.
NB: Foto-foto yang ditampilkan sebagian besar diambil oleh tim dokumentasi 

28 Agustus – 1 September 2013
“Across The Ocean”

            the great Lambelu ship

         Perjalanan dimulai dari Yogyakarta pada pagi yang sepi karena banyak orang telah kembali ke kampung halaman masing-masing, dan sebagian mahasiswa UGM yang telah berangkat KKN, juga turut mengurangi kepadatan kota Jogja. Kami menuju terminal Giwangan setelah malam sebelumnya melakukan upacara khidmat pelepasan tim ekspedisi dengan warga SATU BUMI. Tim kami terdiri dari 8 orang dengan komposisi 3 wanita (saya, kembu, mbak wik) dan 5 pria (adoy, sentot, bagor, yayan, matsu). Kami mendapat Bis Mira tujuan Surabaya dan berangkat pukul 07.00. Barang bawaan kami yang amat banyak ini membuat kami memesan satu kursi tambahan hanya untuk barang (padahal bagasi bus juga sudah penuh dengan barang kami). Total masing masing orang membawa satu carrier dan satu daypack. Tambah dua carrier isi buku sumbangan dan dua tackle bag isi bahan bakar. Sampai di Surabaya pukul 15.00 WIB kami langsung menyewa satu mobil travel untuk langsung ke pelabuhan Tanjung Perak. Ya, untuk mengirit biaya kami berangkat menggunakan kapal laut PELNI bernama “Lambelu” dengan jam keberangkatan pukul 23.00 WIB. Kami pun menunggu kedatangan kapal dengan “ngemper” menggelar tikar di teras depan pintu pelabuhan lalu akhirnya mendapat kabar bahwa Lambelu terlambat sandar dan baru sampai esok hari. Menunggu semalam di pelabuhan Surabaya yang panas. Perjalanan laut memang perlu banyak pemakluman karena kondisi perairan yang kadang tak stabil. 

barang bawaan kami (sumpah itu berat)

                 Kami baru menaiki kapal Lambelu pukul  07.00 WIB pagi harinya namun harus menunggu 2 jam lagi untuk proses loading-unloading dan kapal baru benar benar berjalan pukul 10.30 WIB. Sayangnya kami tidak mendapatkan tempat cukup layak. Status “ekonomi” membuat kami harus berebut tempat bersama ratusan penumpang ekonomi lain. Kapal yang datang dari Jakarta ini telah mengangkut cukup banyak penumpang dan membuat kami harus “ngemper” lagi diantara barang-barang yang tidak seharusnya berada di lorong lorong kapal. Belakangan kami mendapat tempat di dek setelah beberapa penumpang turun di Makassar. Semua dek kapal telah penuh, lorong-lorong juga penuh orang dan barang, bahkan hingga ke tangga-tangga. Saya khawatir jangan-jangan kapal ini overloaded dan bisa tenggelam di laut lepas.









barang-barang yang sembarang saja diletakkan hingga ke tangga-tangga



tempat kami sebelum akhirnya pindah ke yg lebih layak

            beranda kapal

                   Total waktu kami berada di atas kapal adalah 4 hari 3 malam. 4 hari bukan waktu yang singkat. 4 hari itu seperti penyiksaan pelan-pelan terhadap psikis dan mental kami. 4 hari bukan hal bagus ketika menaiki kapal PELNI kelas ekonomi apalagi di waktu menjelang lebaran di saat semua orang berusaha mudik kembali ke kampung halaman. 4 hari itu lebih sering diisi dengan menunggu menunggu dan menunggu atau tidur tidur dan tidur sampai bosan. Hal yang paling mengerikan dari kapal ini adalah: 1. Toiletnya 2. Makanannya. Seringkali menemukan jackpot di kloset-kloset, suatu keterpaksaan untuk menggunakan toilet kapal. Lebih baik tidak usah berlama-lama, dan mandi adalah sesuatu yang kami hindari. (menulis bagian ini juga bikin mual). Yang kedua makanannya, kami makan setiap sahur dan buka. Makanan yang disediakan kapal adalah nasi dengan sedikit sayur dan lauk ikan setengah matang. Kami biasa menyebutnya Sushi  karena masih bau-bau amis. Ikan tidak pernah saya makan daripada malah muntah-muntah. Selalu sedia lauk cadangan seperti abon dan kering tempe. Satu-satunya tempat yang paling nyaman di kapal ini adalah Mushola yang terletak di lantai atas. Karena sepi dan ber-AC. Jadi betah lama-lama di Mushola. Atau terkadang di setiap sunrise dan sunset kami sejenak menyempatkan keluar melihat matahari dan laut, tapi kalau lama-lama malah kenyang dengan angin dan lengket karena asin laut.
 Port of Bau-Bau, anak-anak 'memamerkan'  kebolehannya mendayung

Selama 4 hari kapal transit di Makassar, Bau-Bau, Namlea, baru sampailah ke Ambon. Untuk menghibur diri di setiap transit itulah saya selalu ikut turun dan menginjak tanah pulau yang belum pernah saya datangi. Kecuali Makassar (karena sudah pernah), saya turun di Bau-Bau dengan tujuan utama toilet pelabuhan. Mau turun saja repot karena harus mengalah dulu dengan buruh angkut pelabuhan yang dengan membabi buta masuk mencari barang yang bisa diangkut. Pintu masuk dan keluarnya saja tidak dipisah. Bahkan ketika sedang mengantri menunggu dibukanya pintu ada bapak-bapak di samping saya yang menasihati ‘hati-hati kau perempuan kalau tidak mau masuk ambulans jangan dekat-dekat jalan, di pinggir saja, nanti pasti buruh-buruh tabrak sana sini tak pandang pria atau wanita!’ saya langsung telan ludah kemudian melipir ke pinggir. Begitu pula ketika transit di Namlea (nama kotanya baru saya dengar)tujuan utama tetaplah toilet. Namlea berada di Pulau Buru dan banyak orang mendatangi tempat itu karena tambang emasnya yang baru.Tak heran begitu turun saya melihat ratusan orang berjejal mengantri untuk naik kapal. Namlea semerbak dengan kayu putihnya, landscape nya juga keren. Bahkan ada peta masterplan kota yang dipasang di baliho, kelihatannya sih rapih dan tertata. Sayang saya justru tidak menemukan toilet yang dicari. Untung sebentar lagi sampai di Ambon.




when we got bored, we sat there to enjoy the wind, and sun

Musholla, the most comfort place in the whole ship

our deck

ratusan orang yang berebut dan saling mendorong, jangan sampe jatuh ke lautan itu!

Kedatangan kami di Ambon disambut dengan  gerimis dan langit yang sudah gelap. Dan karena gelap jadi kami memutuskan untuk menginap semalam di pelabuhan dan baru esok paginya berangkat ke Pulau Seram. Kami makan malam nasi padang yang enak luar biasa setelah selama ini hanya ikan mentah. Lalu mencari kamar mandi di masjid Agung. Ambon baru saja terkena bencana banjir badang. Terlihat di jalan jalan masih tersisa  lumpur dan sampah yang menggenang. Beberapa orang sedang membersihkannya dengan semprotan air. Saya akhirnya mandi setelah 5 hari yang lalu tidak berani ke kamar mandi.
2 – 5 September 2013
“East of Indonesia”
                Tidak pernah menyangka untuk menginjakkan kaki di timur Indonesia, dengan waktu 2 jam lebih cepat daripada di Jawa. Suasana yang berbeda, dengan wajah-wajah timur di sekitar yang hampir susah membedakan satu sama lain. Logat yang sedikit keras. Dan pagi ini kami langsung menaiki 2 angkot yang membawa kami ke pelabuhan Tulehu di ujung pulau lalu naik kapal cepat menyeberang ke pulau tujuan. Hanya ada 2 kali keberangkatan kapal cepat dalam satu hari, pukul 09.00 dan 14.00.  berangkat pukul 09.20 WIT dengan tiket Rp 110.000,00 setiap orang. Laut sedang tidak bersahabat, sedikit gerimis dan gelombang cukup membuat beberapa orang muntah di kapal itu. Saya habiskan waktu dengan tidur dan 2 jam kemudian sampailah kami di pelabuhan Amahai. Kami begitu mencolok dengan barang bawaan yang super banyak. Gerimis reda dan kami langsung naik angkot menuju ibu kota Pulau, Masohi. Jalanan di Masohi begitu sepi, pasti sangat berbeda dengan jalur mudik pantura yang saat ini masih padat merayap. Tujuan kami di Kota Masohi adalah Mess Balai Taman Nasional Manusela. Mess ini sebuah rumah bagi para pegawai balai yang katanya masih bujang. Namun ternyata sepi karena semua sedang mudik.
                Kebetulan Taman Nasional juga sedang kedatangan tamu dari IPB (Himakova) dengan jumlah peserta 80 orang. Mereka sedang berkegiatan di lapangan sehingga beberapa orang TN juga tengah menemani mereka. Di Masohi kami mempersiapkan segalanya, logistik, konsumsi, surat izin masuk TN, transportasi, dll. Meski Masohi itu kecil, tapi pusat kotanya tertata dengan rapih dan masih hijau. Katanya Pak Sukarno yang merangcang tata kotanya. Siang itu kami langsung berjalan menuju Kantor Taman Nasional Manusela untuk meberitahu tujuan kami juga mengurus simaksi. Di Kantor kami disambut dengan hangat oleh beberapa pegawai, lalu kami mempresentasikan secara lisan tujuan dan program-program yang akan kami lakukan selama satu bulan lebih. Mereka heran di saat semua orang kembali ke kampung halaman kami malah pergi menjauh menuju pedalaman yang bahkan penduduknya  tidak merayakan lebaran.
                Kami berangkat menuju Masihulan,yang terletak di daerah Seram bagian utara. Masihulan merupakan desa dimana terdapat  basecamp yang berfungsi sebagai Pusat Informasi TN, gerbang utama sebelum menaiki Gunung Binaiya jalur utara. Dengan menggunakan truk tronton milik Kabaresi, dimana yang menyupir adalah tentara terlatih. Jadilah truk berjalan rock ‘n roll di jalan yang berkelok-kelok naik turun bukit, melintasi belantara gelap gulita karena tidak ada lampu jalanan. Sesekali kami melihat pohon yang penuh dengan kunang-kunang (karena waktu itu malam hari). Kami tiba di Pusat Informasi tengah malam dan di sana sudah penuh dengan anak Himakova IPB yang baru selesai berkegiatan. Jadi kami memang saling bergantian, mereka besok kembali ke kota dan kami baru memulai kegiatan.
6-11 Agustus 2013
“Lumpur Jahanam”
                Masih dengan truk, esok paginya kami berangkat menuju ke halte Huaulu yang merupakan pintu masuk jalur pendakian. Disitulah sinyal terakhir yang bisa kami akses, dan saya berpamitan kepada keluarga saya karena sebentar lagi lebaran dan saya tidak mungkin bisa menghubungi mereka selama sebulan ke depan. kami langsung berjalan kaki menuju desa pertama, Huaulu, yang jaraknya sekitar 5 Km dari halte. Awalnya jalan terasa biasa saja karena medan yang datar-datar saja. Namun ternyata beban yang saya bawa, carrier 80 L di belakang dan daypack di depan, semakin lama semakin terasa berat. Mungkin ini beban terberat yang pernah saya bawa, begitu pun 2 rekan perempuan saya (karena yang laki-laki tampak biasa saja). Khawatir terjadi kelainan pada boyok, kami bertiga memutuskan untuk menyewa satu porter khusus untuk barang kami pada perjalanan berikutnya. Jalanan juga agak becek karena hujan, dan kami juga harus menyeberangi sebuah sungai yang jembatannya rusak. Mau tidak mau harus nyemplung, untung tidak terlalu dalam.
                Ketika sampai di Desa Huaulu, semua penghuni rumah seolah melongokkan kepalanya  dengan tatapan oh ada tamu dari luar. Mereka sudah terbiasa dengan kedatangan  orang asing. Yang saya kagumi dari desa ini adalah kecantikan rumah-rumahnya. Konon, meski yang paling dekat dengan kota, Huaulu justru yang paling menjaga keaslian adat istiadatnya. Masyarakatnya masih animisme, dan rumah-rumahnya juga begitu menarik bagi saya. Tipikal rumah panggung dengan dinding terbuat dari pelepah sagu. Dan ketika kami singgah di sebuah rumah yang paling besar di desa itu, beberapa bapak sedang membuat atap dari daun sagu. Mereka bergotong royong membantu membangun sebuah rumah yang belum beratap milik seorang keturunan Papua. Tempat kami singgah bernama bale... Kami memesan porter dari desa Masihulan, namun karena esok harinya porter yang kami sewa belum juga datang, kami menetap di Huaulu selama 2 hari.
                Tanggal 8 yang merupakan hari besar umat muslim, kami masih di Huaulu. Dan suasana begitu sepi karena desa ini tidak merayakan Idul Fitri. Cukup sedih, tapi tentunya ada pemaknaan lebih berlebaran dalam situasi seperti ini. Perayaan kami hanya sebatas maaf maafan sesama tim. Mama yang punya rumah memasakkan kami papeda. Lalu pendakian pun dimulai kembali, tujuannya adalah camp Wasamata. Medan yang dilewati adalah sungai, bukan sekedar menyeberangi tapi justru menyusuri lika liku sungainya selama satu jam. Karena hari itu hujan, beberapa bagian sungai menjadi terlalu dalam dan membuat kami harus menunggu hingga surut. Bahkan di sungai sebelum memasuki desa Roho, debit air terlalu deras sehingga penyeberangan menjadi lebih ekstrim. Kami membuat lifeline dari sambungan 6 webbing untuk menyeberangi sungai karena memang tidak ada jembatan. Perjalanan ke desa kedua, Roho, yang harusnya ditempuh 4 jam molor menjadi 6 jam.
it's Huaulu village, such a peaceful place

               Huaulu people

                     Roho merupakan desa kecil, lebih kecil dari Huaulu dengan total 15 unit rumah. Meski tidak sebagus rumah di Huaulu, yang membuat desa ini tampak cantik adalah rumputnya. Rumput jepang hijau terhampar di seluruh desa, dari halaman rumah hingga ke jalan. Saya heran siapa yang mulanya membawa bibit rumput ini ya? Kami singgah di Roho 2 hari karena ada satu dan lain hal. Mandi di sungai yang mirip telaga mini ala pemandian putri raja jaman dulu (mungkin), karena sungainya cantik.
                Keberangkatan selanjutnya adalah ke Kanikeh, desa tujuan kami. Namun karena beban yang masih saja berat, kami tidak bisa langsung ke Kanikeh pada hari itu dan menginap semalam di camp Wasamata. Perjalanan dari Roho ke Wasamata bisa dibilang yang paling tidak menyenangkan. Kami harus berjalan 8 km di medan yang datar, hutan tropis yang panas, penuh pacet dan lumpur. Ini mimpi buruk bagi saya, karena pacet adalah hal yang paling saya hindari ketika pendakian. Jalur yang membuat kami stress. Jalan jalan dan jalan sampai bodoh. Tidak cukup menyenangkan dengan keparnoan saya terhadap pacet sehingga saya memilih jalan terus ketimbang istirahat duduk. Akhirnya sampai di camp Wasamata dimana terdapat sebuah bangunan shelter yang dibuat pihak TN. Wasamata adalah nama sebuah sungai jernih dan indah. Semua sungai yang ada di sini cantik-cantik. Pada malam harinya teman saya berburu udang di sungai ini dan hasilnya lumayan, dapat satu plastik kresek untuk lauk.
                Perjalanan ke Kanikeh dilanjutkan esok paginya, dan yang saya ingat hanya lumpur. Lumpurnya tiada ampun, kadang memakan sepatu, kadang kami terpeleset. Mungkin predikat gunung paling berlumpur cocok diberikan kepada Gunung Binaiya. Lebih baik menggunakan sepatu boot ketimbang sepatu trekking. Berakhirnya perjalanan kami ditandai dengan sebuah jembatan mengagumkan terbuat dari bambu. Jembatan ini menyeberangi sungai Huaule, sungai yang menghidupi Desa Kanikeh. Jembatan itu bukti kearifan lokal terhadap bahan bahan alam terutama bambu super besar, dan seolah didukung alam semesta dengan perkuatan pohon besar yang saling berseberangan. Tali-tali rotan yang mengikat di setiap sambungannya. Hmm, teman-teman arsitek saya pasti akan mengaguminya jika mereka sempat melihat.


amazing bridge made from bamboo
 


                Akhirnya sampai di Kanikeh pada sore hari yang rintik, dengan semua pandangan masyarakat tertuju pada kami dan kami sudah terbiasa dengan tatapan itu. Kanikeh juga tidak kalah mengagumkan dari 2 desa sebelumnya, hamparan rumput yang lebih luas, dan diapit dua gunung di selatan dan utara. Jumlah rumah disini lebih banyak, sekitar 54 unit dengan berbagai macam tipe. Di ketinggian 600 mdpl, udaranya cukup membuat kami menggigil sore itu dengan baju kami yang basah dan kotor oleh lumpur. Desa Kanikeh yang normalnya ditempuh dalam waktu 3 hari dari halte, menjadi 5 hari karena satu dan lain hal. Dan disinilah akhirnya kami akan berkegiatan selama 3 minggu.
Kanikeh Village

Childern of Kanikeh



Ps: Untuk membaca bagian selanjutnya ada di link berikut:

8 komentar:

  1. dari Pelabuhan Tulehu - Pulau Seram hanya ada kapal cepat?? kalau kapal feri??

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Ealah ada yang nanyain juga hahahaha, duh, sebenernya sebagian lanjutannya udah ada yg ditulis. Tapi kok... udah terkubur, beserta niatnya juga... :(

      Hapus
  3. mbak. boleh minta kontaknya? atau mungkin bisa email saya di widiantoindra@icloud.com saya ingin tanya-tanya lebih banyak dan detail terkait perjalanan ke binaiya. saya domisili jogja. maturnuwun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaampun baru sadar ada komen ini, btw itu sudah cukup lama dan saya sendiri tidak begitu ingat detailnya. Kemungkinan ongkos dll nya sudah pasti berubah juga kan. Bisa main ke mapala satu bumi kalau mau pinjam laporan lengkap perjalanannya, hehe

      Hapus
  4. assalamualaikum mbak tami,saya dari mahasiswa universitas Riau tertarik dengan cerita yang mbak buat.btw saya bisa minta kontak mbak untuk menanyakan beberapa hal mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo, mohon maaf baru lihat komennya, boleh banget kalo mau nanya-nanya, kirim aja email ke tamishabrina@gmail.com nanti bisa tukeran kontak via email :)

      Hapus

ayo sini dikomen dikomeen :)