11-17 Agustus 2013
“Selamat Pagi Kakak”Kanikeh memang sudah tampak lebih modern. Terdapat bangunan Sekolah Dasar, balai desa, dan gereja. Semua penduduk disini sudah beragama kristen. Berbeda dengan Huaulu yang masih Animisme, padahal Kanikeh berada lebih jauh di pedalaman. Dua hari pertama kami habiskan dengan berbagai persiapan, pembagian rumah tinggal, penjelasan maksud dan tujuan kepada sekretaris desa, Bapak Sonri. Lucunya, Raja Kanikeh tidak tinggal di sini, justru di Desa Wai Putih-putih yang terletak di dekat pantai. Desa Wai putih-putih adalah pecahan desa Kanikeh yang berada di bawah, penduduknya juga berasal dari Kanikeh. Konon banyak orang yang tadinya tinggal di Kanikeh setelah turun ke Waiputih-putih tidak kembali lagi ke atas. Wah, mungkin Kanikeh bisa punah jika begini terus.
Hari ketiga kami melakukan upacara adat, yang wajib dilakukan pendatang yang akan berkegiatan apapun di sekitar sini, termasuk pendakian Gunung Binaiya. Upacarnya disebut upacara sirih pinang yang dilakukan di rumah adat, upacara yang saya pikir dihadiri orang sekampung ternyata hanya kami dan bapak ibu adat. Ditemani pak Son dan bapak guru. Upacara hanya sebatas “perestuan” akan kegiatan yang kami lakukan. Bapak adat memegang kain merah dan mengucap “doa” dalam bahasa mereka. Setelahnya kami dipersilahkan mengunyah sirih dan pinang beserta bubuk kapur yang membuatnya menjadi berwarna merah. Ugh, rasanya aneh, daripada berlama-lama di mulut langsung saja saya telan tanpa dikunyah halus. Setelahnya ludah saya memang jadi berwarna merah, padahal hanya beberapa kunyahan. Dan beberapa saat saya menertawakan apa yang telah kami lakukan, teman-teman saya juga tampak berekspresi aneh ketika mengunyahnya. Kebiasaan masyarakat pegunungan sini adalah “nginang” sperti merokok, mereka harus menginang setiap waktu, hingga banyak bekas ludahan yang berwarna merah di tanah tanah. Awalnya tampak menyeramkan setiap melihat mereka meringis karena gigi yang kemerah-merahan lebih terlihat seperti darah.
Upacara adat yang ditutup dengan menyantap sirih pinang |
Suatu
sore kami diundang ke rumah Pak Son untuk menikmati sebuah cemilan bernama
Kana, terbuat dari sagu dan kelapa yang dibakar sehingga terasa renyah.
Entahlah, ketika itu rasanya enak, mungkin sedang lapar. Padahal rasanya
hambar. Lalu kami bernyanyi bersama-sama dengan seorang musisi lokal yang
pandai bermain sejenis ukulele padahal ia buta. Masyarakat timur memang memiliki
suara yang merdu. Kami bernyanyi dari lagu timur hingga lagi wajib nasional
(supaya sama-sama bisa bernyanyi), kami bernyanyi hingga larut malam, hingga
semua warga kampung berkerumun di depan rumah. Mungkin suara kami memang
terdengar seluruh desa dan membuat mereka penasaran dengan orang-orang asing
yang baru datang ini.
Candle Light dinner: pesta papeda di rumah Pak Sonri |
Menjelang
17 Agustus, setiap rumah mendirikan tiang bendera di depan rumahnya
masing-masing. Sekolah memang sedang libur, namun pada tanggal 17 kami
berupacara di halaman sekolah, begitu
pula seluruh warga kampung. Halaman sekolah cukup untuk seisi desa berbaris
dengan hikmat. Padahal sebelumnya tidak pernah dilakukan upacara 17-an, tahun
ini memang sedikit istimewa karena kehadiran seorang bapak guru dan seorang
nona guru yang mempersiapkan pelaksanaan upacara ini. Saya pribadi juga telah
lama tidak merasakan upacara betulan setelah lulus SMA. Melihat bocah-bocah SD
yang menjadi petugas upacara, pemimpin upacara yang grogi, dan kami berbaris
tepat di samping barisan kelas satu yang kecilnya minta ampun. Saya ingin
selalu tertawa melihat wajah-wajah mereka, wajah-wajah generasi penerus
Kanikeh. Dengan seragam yang lusuh, ada yang bersepatu ada yang tanpa alas
kaki. ada yang takut-takut ketika kami berusaha senyum ke arah mereka. Setelah
upacara barulah pesta dimulai. Ada beberapa pentas seni dari anak-anak, joget
poco-poco, juga tari-tarian lucu dengan kostum jerami-jerami. Lalu kami diminta
nona guru untuk menjadi panitia perlombaan. Dengan senang hati kami mengurusi
anak-anak itu. lomba balap karung, sendok kelereng, memasukkan paku ke dalam
botol, dan lomba joget balon. Dan membuat kami berkeringat karena matahari
begitu terik, tapi kami senang melihat tingkah mereka yang kocak. Barulah
setelah diumumkan pemenang lomba, kami dipersilahkan menyantap hidangan yang
dibuat oleh mama-mamanya. Pisang goreng tanpa rasa karena masih muda, ubi-ubian
dan daging rusa. Sayangnya sebagian anggota tim tidak bisa mengikuti perayaan
ini karena sedang melakukan program summit
Binaiya.
Upacara 17 Agustus bersama seluruh penduduk desa |
Pengibaran bendera merah putih |
Lomba kelereng. Salah satu anak yang wajahnya mengingatkan saya pada tokoh kartun |
Lomba balon joget |
Beruntung
seorang pendamping dari Taman Nasional, Bang Ato, menyusul kami di Kanikeh. Dan
mari saya perkenalkan tokoh baru, Bang Ato ini banyak membantu kami dalam
pelaksanaan kegiatan ini. Beliau seorang polisi hutan yang sering berpatroli ke
lapangan. Beliau juga pernah bertemu saya dalam sebuah kursus speleologi di
Yogyakarta (diklat ASC XVI). Jadi kami memang sudah saling kontak sejak sebelum
pelaksanaan ekspedisi.
18-23 Agustus 2013
“Dunia Lumut”
Setelah perayaan
17-an, saya dengan 4 anggota tim lain serta Bang Ato berangkat ke atas dengan
tujuan puncak. Tim yang lain melakukan kegiatan di Kanikeh. Perjalanan ke
puncak memakan waktu 3 hari karena barang bawaan yang cukup berat sedikit
menghambat kecepatan (terutama) saya. Rencana setelah memuncak ini saya bersama
anggota tim caving akan melanjutkan
kegiatan di camp Waihuhu untuk
kegiatan survei goa dan pemetaan. Sebelum menuju puncak, akan ada 3 camp yang harus dilewati, camp Waisanutuni, camp Waensela, dan camp Waihuhu.
Jadi barang bawaan kepentingan caving seperti
logam-logaman yang amat berat ini kami bawa hingga Waihuhu. 2 hari pertama kami
habiskan di camp Waensela dan
Waihuhu. Medan perjalanan tidak jauh-jauh dari yang namanya lumpur. Baru keluar
dari kanikeh saja saya sudah kotor berlumuran lumpur karena sering jatuh. Baru
di hari ketiga kami lanjutkan perjalanan ke puncak tanpa membawa beban berat
yang kami tinggal di Waihuhu.
Perjalanan ke puncak |
24-31 Agustus 2013
“Antah Berantah”
Konsep
kegiatan survei goa ini terbagi menjadi 3 termin. Termin pertama kami habiskan
5 hari di Waihuhu, termin kedua 5 hari di Waensela, dan ketiga 4 hari di
Waisanutuni. Setelah pemuncakan dimulailah kegiatan survei goa di Waihuhu. Tim
dibagi 2, saya kebagian dengan Bang Ato. Tentunya dilengkapi peralatan navigasi
seperti kompas, GPS, peta. Kami berjalan ke belantara betulan yang kata Bang
Ato belum pernah ada yang kesitu selain kami. Saya memang pernah berangan-angan
untuk bisa berjalan di hutan yang ‘beneran’ hutan. Biasanya kan hanya sebatas
jalan di jalur pendakian, lewat begitu saja tidak benar-benar mengeksplorasi
isi dalam hutan. Agak horor ketika kami menemukan tulang belulang rusa, Bang
Ato memprediksi rusa itu bekas dimakan binatang buas, kemungkinan ular besar.
Saya langsung parno dan ga berani jauh-jauh dari Bang Ato yang sudah
berpengalaman. Tapi lama-lama toh tidak muncul juga hewan-hewan aneh yang saya
bayangkan. Malah hutan lebih sepi dari yang saya kira (yaiyalah!). Saya
berharap melihat rusa berjalan karena banyak sekali kami melihat jejak-jejak
dan kotoran rusa yang masih fresh. Kata
Bang Ato rusa berlari lebih cepat dari yang kita kira, bahkan sebelum kita
sadar mereka telah kabur mengetahui ada manusia yang akan lewat. Hutan di
ketinggian 2000-an sungguh cantik, pepohonan yang tinggi diselimuti lumut hijau
juga hawa yang sejuk. Tidak lama kemudian saya mendengar suara deras air.
Setelah kami dekati ternyata sungai dengan air terjun yang tidak terlalu tinggi
tapi cantik! Kami makan siang disamping air terjun tersebut. Di penghujung hari
barulah kami menemukan satu entrance goa di sebuah dolin kecil. Goa tidak
terlalu dalam dan banyak reruntuhan batu. Hanya mengecek dan mendata lalu
kembali lagi ke camp. Tim satunya juga menemukan 3 buah entrance.
![]() |
Lebatnya hutan di area Waihuhu. |
Barulah sisa
hari kami di Waihuhu dihabiskan untuk memetakan 3 buah goa yang telah dipilih.
Masuk goa di ketinggian lebih dari 2000 mdpl itu bagai masuk kulkas, batu-batuannya
sedingin es. Rasanya kebelet pipis terus. Di atas tanah saja sudah dingin minta
ampun, gimana di bawah tanah. Goa di Waihuhu ini rata-rata tidak terlalu dalam,
tidak sedalam goa di daerah pantai Seram. Mungkin karena daerah gunung Binaiya
ini berusia tua, sehingga sudah banyak tertutup sedimen-sedimen. Sedang di
daerah pantai Seram yang masih lebih muda, banyak sekali goa-goa vertikal dalam
seperti Hatusaka yang kedalamannya mencapai 300 meter.
Memasuki Gua di Waihuhu. |
Selesai di
Waihuhu, kami pindah ke camp Waensela
yang ketinggiannya lebih rendah. Kondisi hutannya juga sedikit berbeda, lebih
banyak semak-semak dan hawa yang tidak terlalu dingin. Kami memutuskan untuk
libur pada hari pertama di Waensela. Jadi seharian kerjaannya hanya bersantai
dan menikmati suasana hutan.
Tim Satu Bumi, di depan mulut Gua |
Hari kedua di
Waensela, juga bertepatan dengan hari lahir saya yang kini mencapai 21 tahun. Di
hutan, dan hanya ada tiga orang teman. Mungkin ulang tahun teraneh saya. No signal, no electricity, no facebook, no
twitter, tanpa harus khawatir dan harap-harap cemas menghitung berapa orang
yang mengucapkan selamat. Bebas. Hutan Waensela yang menunggu untuk
dieksplorasi menjadikan saya bersemangat hari itu. Saya dan bang Ato berjalan
ke arah puncakan di dekat camp, lalu
menjelang puncak kami menemukan suatu hamparan luas tanaman paku-pakuan yang
tampaknya terlihat sebagai tempat tinggal rusa. Banyak sekali jejak-jejak kaki
rusa yang masih baru, seperti baru saja berlari meninggalkan kami. Dan ketika
saya memandangi seluruh kawasan, tanpa sengaja menangkap dua sosok besar
bertanduk kokoh yang berdiri sekitar 20 m disamping saya. Yap, saya melihat dua
ekor rusa yang juga sedang memerhatikan gerak-gerik kami berdua. Tidak bisa
menyembunyikan kekagetan saya, saya berteriak “rusa!” yang sayangnya membuat
mereka langsung lari terbirit-birit menjauh. Bang Ato pun hanya sempat melihat
sebentar mendngar teriakan saya, dia bilang coba saya tidak berteriak mereka
juga akan tetap berdiri santai. Yaah, sedikit menyesal harusnya bisa melihat
mereka lebih lama lagi. Tapi, terimakasih Tuhan, akhirnya saya benar-benar
melihat rusa liar, saya anggap ini hadiah ulang tahun saya.
Selama berada
di Waensela, kami berempat menemukan sekitar 5 buah gua dan memetakannya. Dari
5 gua tersebut, kami katakan mungkin hanya 2 gua yang benar benar ‘cukup
panjang’ untuk bisa dieksplorasi. Ada sebuah peristiwa bodoh, dimana pada
sebuah gua dengan bentuk vertikal, kami memetakannya hingga hari benar-benar
gelap. Karena mungkin lelah dan kurang berhati-hati, ketika sampai di camp kami menyadari data yang saya
tuliskan di kertas kodaktris anti air tersebut terhapus pada bagian yang paling
penting: arah kompas. Meskipun hanya empat angka yang terhapus, namun sangat
fatal akibatnya karena tidak dapat kami gambar secara benar nantinya. Lebih-lebih,
itu gua yang paling ‘bagus’ (ornamen dan fauna yang lebih variatif) selama kami
menemukan gua dalam kegiatan ini. Sehingga malam itu kami habiskan dengan
penyesalan, haha, karena besok adalah jadwal kami berpindah area survey. Dengan
berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskan esok hari kami terpisah menjadi 2, 2
orang kembali mengambil data di gua tersebut, dan 2 orang langsung berpindah
camp ke lokasi berikutnya: Waisanutuni.
Medan di area
ketiga ini lebih datar ketimbang sebelumnya. Ketinggiannya memang lebih rendah
sehingga hawanya lebih sumuk. Vegetasi area ini didominasi oleh semak belukar
dan rotan! Kami harus lebih berhati-hati karena lebih sulit untuk melewati
rotan berduri. Saya pribadi baru merasakan berjalan-jalan di hutan penuh dengan
rotan, tanaman yang banyak manfaatnya ini. Saya sempat takjub dengan bentuk
tanaman rotan yang sangat panjang melungker-lungker,
satu tanaman saja rotannya bisa mencapai panjang puluhan meter. Satu hal yang
menarik, di area ini terdapat air terjun Waisanutuni yang memang cukup sering
didatangi pendaki. Air terjun ini tingginya 20 meter. Kami diajak Bang Ato melihat
air terjun tersebut, dan rekan-rekan lelaki saya langsung mandi-mandi. Saya sih
kepengen, tapi nggak punya temen wanita haha. Jadi mending besok saja saya
melipir sendirian cari spot di sungai. Harus berani.
Salah satu air terjun yang ditemui. |
Hari kedua di
Waisanutuni, seperti biasanya kami berpencar untuk mencari gua. Sepanjang
penelusuran, hingga siang hari saya dan Bang Ato tidak berhasil menemukan satu
gua pun. Kami melihat sebuah tebing dan menduga ada gua pada bagian atasnya
karena kami seperti melihat bercak-bercak kotoran kelelawar di tepiannya, namun
apadaya kami tidak mengeceknya karena cukup tinggi. Hingga akhirnya kami hanya
menelusuri sungai, ke arah atas dan selalu takjub ketika menemukan air
terjun-air terjun mini di sepanjang alirannya. Sampai-sampai saya berpikiran
untuk membuat divisi susur sungai saja ketimbang susur gua, haha. Ketika hari
mulai sore, kami mengeplot posisi kami di peta dan ternyata kami jalan cukup
jauh dan hampir masuk area termin sebelumnya di Waensela. Akhirnya kami
putuskan kembali lagi ke camp. Di perjalanan pulang Bang Ato mengambil rebung
untuk makan malam kami nanti. Sampai di camp, saya melipir ke sungai menjauhi
camp untuk mandi yang tetep aja bikin parno meskipun saya tahu tidak akan ada
orang di hutan belantara ini yang bakalan mengintip, haha. Malamnya kami pesta
makan rebung (bambu muda) dan sayur paku. Kata Bang Ato kami kalo boker bisa-bisa keluarnya pagar (got this joke eh?).
Hari-hari
terakhir kami survey gua tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Waisanutuni
rupanya masih belum berbaik hati untuk menyingkapkan gua-guanya kepada kami. Karena
tidak menemukan satu pun gua, kami memutuskan kembali ke Desa Kanikeh untuk
rehat sejenak sebelum lanjut lagi ke Hatu Mere-Mere, area di bawahnya Kanikeh
dimana kami melihat bentukan alam yang cukup unik: batu besar di tengah hutan.
Teman teman kami yang di Desa Kanikeh heran karena kami kembali lebih cepat dua
hari daripada jadwal. Kami pun grasak-grusuk
cuci alat dulu di sungai dan packing-packing
untuk kembali survey esok harinya ke Hatu Mere-Mere. Perjalanan ke Hatu
Mere-Mere tidak lama, satu jam dari Kanikeh kami langsung dapat melihat batuan
besar yang langsung kami eksplorasi bagian dalamnya. Lagi-lagi kami tidak
menemukan apapun. Hanya batuan besar yang ada di tengah hutan, aneh dan nampak seperti
alien. Walhasil hari itu kami langsung kembali lagi ke Kanikeh, dan bergabung
bersama tim untuk membantu kegiatan yang mereka lakukan. Masih ada hari besok
dimana mereka akan memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air dari sungai menuju
keran air yang berada di tengah desa.
Ohiya, saya
tidak menceritakan dengan lengkap kegiatan yang dilakukan teman-teman di luar
tim caving karena saya memang tidak melakukannya langsung. Lebih khususnya
kegiatan di desa Kanikeh yang hari-harinya diisi dengan kegiatan belajar
mengajar, penelitian arsitektur desa, penelitian sungai, sosialisasi porter,
sosialisasi bambu, dan pemasangan pipa air. Pada hari-hari terakhir di Kanikeh
di mana persediaan makanan telah habis, dua orang teman saya dibantu anak anak
desa berburu bekicot 2 plastik, hoek. Saya sendiri tidak doyan, dan tidak turut
memakannya yang berujung dimarahin tim konsumsi yang sudah bersusah payah
memasakkannya, haha maafkan saya.
Bagian Sebelumnya:
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 1)
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 3)
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo sini dikomen dikomeen :)