Senin, Februari 20

Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 2)


11-17 Agustus 2013
“Selamat Pagi Kakak”

               Kanikeh memang sudah tampak lebih modern. Terdapat bangunan Sekolah Dasar, balai desa, dan gereja. Semua penduduk disini sudah beragama kristen. Berbeda dengan Huaulu yang masih Animisme, padahal Kanikeh berada lebih jauh di pedalaman. Dua hari pertama kami habiskan dengan berbagai persiapan, pembagian rumah tinggal, penjelasan maksud dan tujuan kepada sekretaris desa, Bapak Sonri. Lucunya, Raja Kanikeh tidak tinggal di sini, justru di Desa Wai Putih-putih yang terletak di dekat pantai. Desa Wai putih-putih adalah pecahan desa Kanikeh yang berada di bawah, penduduknya juga berasal dari Kanikeh. Konon banyak orang yang tadinya tinggal di Kanikeh setelah turun ke Waiputih-putih tidak kembali lagi ke atas. Wah, mungkin Kanikeh bisa punah jika begini terus.
                Hari ketiga kami melakukan upacara adat, yang wajib dilakukan pendatang yang akan berkegiatan apapun di sekitar sini, termasuk pendakian Gunung Binaiya. Upacarnya disebut upacara sirih pinang yang dilakukan di rumah adat, upacara yang saya pikir dihadiri orang sekampung ternyata hanya kami dan bapak ibu adat. Ditemani pak Son dan bapak guru. Upacara hanya sebatas “perestuan” akan kegiatan yang kami lakukan. Bapak adat memegang kain merah dan mengucap “doa” dalam bahasa mereka. Setelahnya kami dipersilahkan mengunyah sirih dan pinang beserta bubuk kapur yang membuatnya menjadi berwarna merah. Ugh, rasanya aneh, daripada berlama-lama di mulut langsung saja saya telan tanpa dikunyah halus. Setelahnya ludah saya memang jadi berwarna merah, padahal hanya beberapa kunyahan. Dan beberapa saat saya menertawakan apa yang telah kami lakukan, teman-teman saya juga tampak berekspresi aneh ketika mengunyahnya. Kebiasaan masyarakat pegunungan sini adalah “nginang” sperti merokok, mereka harus menginang setiap waktu, hingga banyak bekas ludahan yang berwarna merah di tanah tanah. Awalnya tampak menyeramkan setiap melihat mereka meringis karena gigi yang kemerah-merahan lebih terlihat seperti darah.

Upacara adat yang ditutup dengan menyantap sirih pinang
                Suatu sore kami diundang ke rumah Pak Son untuk menikmati sebuah cemilan bernama Kana, terbuat dari sagu dan kelapa yang dibakar sehingga terasa renyah. Entahlah, ketika itu rasanya enak, mungkin sedang lapar. Padahal rasanya hambar. Lalu kami bernyanyi bersama-sama dengan seorang musisi lokal yang pandai bermain sejenis ukulele padahal ia buta. Masyarakat timur memang memiliki suara yang merdu. Kami bernyanyi dari lagu timur hingga lagi wajib nasional (supaya sama-sama bisa bernyanyi), kami bernyanyi hingga larut malam, hingga semua warga kampung berkerumun di depan rumah. Mungkin suara kami memang terdengar seluruh desa dan membuat mereka penasaran dengan orang-orang asing yang baru datang ini.

Candle Light dinner: pesta papeda di rumah Pak Sonri
   
                 Menjelang 17 Agustus, setiap rumah mendirikan tiang bendera di depan rumahnya masing-masing. Sekolah memang sedang libur, namun pada tanggal 17 kami berupacara di  halaman sekolah, begitu pula seluruh warga kampung. Halaman sekolah cukup untuk seisi desa berbaris dengan hikmat. Padahal sebelumnya tidak pernah dilakukan upacara 17-an, tahun ini memang sedikit istimewa karena kehadiran seorang bapak guru dan seorang nona guru yang mempersiapkan pelaksanaan upacara ini. Saya pribadi juga telah lama tidak merasakan upacara betulan setelah lulus SMA. Melihat bocah-bocah SD yang menjadi petugas upacara, pemimpin upacara yang grogi, dan kami berbaris tepat di samping barisan kelas satu yang kecilnya minta ampun. Saya ingin selalu tertawa melihat wajah-wajah mereka, wajah-wajah generasi penerus Kanikeh. Dengan seragam yang lusuh, ada yang bersepatu ada yang tanpa alas kaki. ada yang takut-takut ketika kami berusaha senyum ke arah mereka. Setelah upacara barulah pesta dimulai. Ada beberapa pentas seni dari anak-anak, joget poco-poco, juga tari-tarian lucu dengan kostum jerami-jerami. Lalu kami diminta nona guru untuk menjadi panitia perlombaan. Dengan senang hati kami mengurusi anak-anak itu. lomba balap karung, sendok kelereng, memasukkan paku ke dalam botol, dan lomba joget balon. Dan membuat kami berkeringat karena matahari begitu terik, tapi kami senang melihat tingkah mereka yang kocak. Barulah setelah diumumkan pemenang lomba, kami dipersilahkan menyantap hidangan yang dibuat oleh mama-mamanya. Pisang goreng tanpa rasa karena masih muda, ubi-ubian dan daging rusa. Sayangnya sebagian anggota tim tidak bisa mengikuti perayaan ini karena sedang melakukan program summit Binaiya.

Upacara 17 Agustus bersama seluruh penduduk desa
Pengibaran bendera merah putih
Lomba kelereng. Salah satu anak yang wajahnya mengingatkan saya pada tokoh kartun
Lomba balon joget
                Beruntung seorang pendamping dari Taman Nasional, Bang Ato, menyusul kami di Kanikeh. Dan mari saya perkenalkan tokoh baru, Bang Ato ini banyak membantu kami dalam pelaksanaan kegiatan ini. Beliau seorang polisi hutan yang sering berpatroli ke lapangan. Beliau juga pernah bertemu saya dalam sebuah kursus speleologi di Yogyakarta (diklat ASC XVI). Jadi kami memang sudah saling kontak sejak sebelum pelaksanaan ekspedisi.

18-23 Agustus 2013

“Dunia Lumut”
                Setelah perayaan 17-an, saya dengan 4 anggota tim lain serta Bang Ato berangkat ke atas dengan tujuan puncak. Tim yang lain melakukan kegiatan di Kanikeh. Perjalanan ke puncak memakan waktu 3 hari karena barang bawaan yang cukup berat sedikit menghambat kecepatan (terutama) saya. Rencana setelah memuncak ini saya bersama anggota tim caving akan melanjutkan kegiatan di camp Waihuhu untuk kegiatan survei goa dan pemetaan. Sebelum menuju puncak, akan ada 3 camp yang harus dilewati, camp Waisanutuni, camp Waensela, dan camp Waihuhu. Jadi barang bawaan kepentingan caving seperti logam-logaman yang amat berat ini kami bawa hingga Waihuhu. 2 hari pertama kami habiskan di camp Waensela dan Waihuhu. Medan perjalanan tidak jauh-jauh dari yang namanya lumpur. Baru keluar dari kanikeh saja saya sudah kotor berlumuran lumpur karena sering jatuh. Baru di hari ketiga kami lanjutkan perjalanan ke puncak tanpa membawa beban berat yang kami tinggal di Waihuhu.


Perjalanan ke puncak
                Perjalanan ke puncak lebih menyenangkan daripada 2 hari sebelumnya, tentu selain karena ringan tidak membawa beban, pemandangan juga lebih menarik karena ketinggian telah mencapai 2000 meter ke atas. Kiri kanan terlihat cantik karena tanah dan pohon diselimuti oleh berbagai macam jenis lumut. Lumutnya empuk, dan secara alami terbentuk bentukan-bentukan mirip sofa, atau kasur yang kadang dengan seenaknya kita tidurin. Kata Bang Ato jalur pendakian selatan lebih kaya akan lumutnya, lebih bagus dari yang kita lihat sekarang. Lain kali harus dicoba. Sesekali juga terdengar cicitan burung nuri yang ramai karena tahu ada manusia-manusia sedang berjalan di bawah mereka. Medan semakin terjal karena sudah dekat dengan puncak, yang tadinya vegetasi pohon dan lumut berubah menjadi bebatuan yang mudah tergelinding, harus super hati-hati melewatinya. Kami melihat bangkai seekor anak rusa yang belum membusuk.
                Binaiya memiliki 2 buah puncak yang biasa didatangi pendaki. Puncak 3027 dan 3035, 2 puncak ini berbeda ketinggiannya hanya 8 meter namun terpisah cukup jauh. Dan tujuan kami hanya puncak 3027. Beberapa meter sebelum sampai di puncak 3027, terdapat sebuah kolam besar atau lebih tepatnya genangan air yang jarang kering. Di sekitar genangan air adalah hamparan rumput yang luas. Cukup luas bagi saya untuk bisa berguling-guling di atasnya. Lokasi ini dinamakan camp Waifuku. Genangan air ini terbentuk karena bentukan lahan yang cekung, sehingga setiap kali hujan terkumpullah air dari segala sisi area puncak ini. Juga sebagai sumber air makhluk hidup di sekitarnya, kabarnya rusa-rusa juga akan berdatangan untuk minum jika tidak ada pendaki di sekitarnya. Tidak sampai 5 menit dari Waifuku kami mencapai puncak 3027. Dari situ bisa terlihat puncak 3035 dengan jelas. Kami berfoto ria tak sampai 1 jam turun kembali ke Waifuku untuk makan siang. Lalu turun kembali ke Waihuhu dengan riangnya karena tanah yang empuk oleh lumut membuat kami bisa senantiasa bermain-main.

Area puncak 3027, dengan background genangan air
               

24-31 Agustus 2013

“Antah Berantah”
Konsep kegiatan survei goa ini terbagi menjadi 3 termin. Termin pertama kami habiskan 5 hari di Waihuhu, termin kedua 5 hari di Waensela, dan ketiga 4 hari di Waisanutuni. Setelah pemuncakan dimulailah kegiatan survei goa di Waihuhu. Tim dibagi 2, saya kebagian dengan Bang Ato. Tentunya dilengkapi peralatan navigasi seperti kompas, GPS, peta. Kami berjalan ke belantara betulan yang kata Bang Ato belum pernah ada yang kesitu selain kami. Saya memang pernah berangan-angan untuk bisa berjalan di hutan yang ‘beneran’ hutan. Biasanya kan hanya sebatas jalan di jalur pendakian, lewat begitu saja tidak benar-benar mengeksplorasi isi dalam hutan. Agak horor ketika kami menemukan tulang belulang rusa, Bang Ato memprediksi rusa itu bekas dimakan binatang buas, kemungkinan ular besar. Saya langsung parno dan ga berani jauh-jauh dari Bang Ato yang sudah berpengalaman. Tapi lama-lama toh tidak muncul juga hewan-hewan aneh yang saya bayangkan. Malah hutan lebih sepi dari yang saya kira (yaiyalah!). Saya berharap melihat rusa berjalan karena banyak sekali kami melihat jejak-jejak dan kotoran rusa yang masih fresh. Kata Bang Ato rusa berlari lebih cepat dari yang kita kira, bahkan sebelum kita sadar mereka telah kabur mengetahui ada manusia yang akan lewat. Hutan di ketinggian 2000-an sungguh cantik, pepohonan yang tinggi diselimuti lumut hijau juga hawa yang sejuk. Tidak lama kemudian saya mendengar suara deras air. Setelah kami dekati ternyata sungai dengan air terjun yang tidak terlalu tinggi tapi cantik! Kami makan siang disamping air terjun tersebut. Di penghujung hari barulah kami menemukan satu entrance goa di sebuah dolin kecil. Goa tidak terlalu dalam dan banyak reruntuhan batu. Hanya mengecek dan mendata lalu kembali lagi ke camp. Tim satunya juga menemukan 3 buah entrance.


Lebatnya hutan di area Waihuhu.

Barulah sisa hari kami di Waihuhu dihabiskan untuk memetakan 3 buah goa yang telah dipilih. Masuk goa di ketinggian lebih dari 2000 mdpl itu bagai masuk kulkas, batu-batuannya sedingin es. Rasanya kebelet pipis terus. Di atas tanah saja sudah dingin minta ampun, gimana di bawah tanah. Goa di Waihuhu ini rata-rata tidak terlalu dalam, tidak sedalam goa di daerah pantai Seram. Mungkin karena daerah gunung Binaiya ini berusia tua, sehingga sudah banyak tertutup sedimen-sedimen. Sedang di daerah pantai Seram yang masih lebih muda, banyak sekali goa-goa vertikal dalam seperti Hatusaka yang kedalamannya mencapai 300 meter.

Memasuki Gua di Waihuhu.
Selesai di Waihuhu, kami pindah ke camp Waensela yang ketinggiannya lebih rendah. Kondisi hutannya juga sedikit berbeda, lebih banyak semak-semak dan hawa yang tidak terlalu dingin. Kami memutuskan untuk libur pada hari pertama di Waensela. Jadi seharian kerjaannya hanya bersantai dan menikmati suasana hutan. 
Tim Satu Bumi, di depan mulut Gua
Hari kedua di Waensela, juga bertepatan dengan hari lahir saya yang kini mencapai 21 tahun. Di hutan, dan hanya ada tiga orang teman. Mungkin ulang tahun teraneh saya. No signal, no electricity, no facebook, no twitter, tanpa harus khawatir dan harap-harap cemas menghitung berapa orang yang mengucapkan selamat. Bebas. Hutan Waensela yang menunggu untuk dieksplorasi menjadikan saya bersemangat hari itu. Saya dan bang Ato berjalan ke arah puncakan di dekat camp, lalu menjelang puncak kami menemukan suatu hamparan luas tanaman paku-pakuan yang tampaknya terlihat sebagai tempat tinggal rusa. Banyak sekali jejak-jejak kaki rusa yang masih baru, seperti baru saja berlari meninggalkan kami. Dan ketika saya memandangi seluruh kawasan, tanpa sengaja menangkap dua sosok besar bertanduk kokoh yang berdiri sekitar 20 m disamping saya. Yap, saya melihat dua ekor rusa yang juga sedang memerhatikan gerak-gerik kami berdua. Tidak bisa menyembunyikan kekagetan saya, saya berteriak “rusa!” yang sayangnya membuat mereka langsung lari terbirit-birit menjauh. Bang Ato pun hanya sempat melihat sebentar mendngar teriakan saya, dia bilang coba saya tidak berteriak mereka juga akan tetap berdiri santai. Yaah, sedikit menyesal harusnya bisa melihat mereka lebih lama lagi. Tapi, terimakasih Tuhan, akhirnya saya benar-benar melihat rusa liar, saya anggap ini hadiah ulang tahun saya.
Selama berada di Waensela, kami berempat menemukan sekitar 5 buah gua dan memetakannya. Dari 5 gua tersebut, kami katakan mungkin hanya 2 gua yang benar benar ‘cukup panjang’ untuk bisa dieksplorasi. Ada sebuah peristiwa bodoh, dimana pada sebuah gua dengan bentuk vertikal, kami memetakannya hingga hari benar-benar gelap. Karena mungkin lelah dan kurang berhati-hati, ketika sampai di camp kami menyadari data yang saya tuliskan di kertas kodaktris anti air tersebut terhapus pada bagian yang paling penting: arah kompas. Meskipun hanya empat angka yang terhapus, namun sangat fatal akibatnya karena tidak dapat kami gambar secara benar nantinya. Lebih-lebih, itu gua yang paling ‘bagus’ (ornamen dan fauna yang lebih variatif) selama kami menemukan gua dalam kegiatan ini. Sehingga malam itu kami habiskan dengan penyesalan, haha, karena besok adalah jadwal kami berpindah area survey. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskan esok hari kami terpisah menjadi 2, 2 orang kembali mengambil data di gua tersebut, dan 2 orang langsung berpindah camp ke lokasi berikutnya: Waisanutuni.
Medan di area ketiga ini lebih datar ketimbang sebelumnya. Ketinggiannya memang lebih rendah sehingga hawanya lebih sumuk. Vegetasi area ini didominasi oleh semak belukar dan rotan! Kami harus lebih berhati-hati karena lebih sulit untuk melewati rotan berduri. Saya pribadi baru merasakan berjalan-jalan di hutan penuh dengan rotan, tanaman yang banyak manfaatnya ini. Saya sempat takjub dengan bentuk tanaman rotan yang sangat panjang melungker-lungker, satu tanaman saja rotannya bisa mencapai panjang puluhan meter. Satu hal yang menarik, di area ini terdapat air terjun Waisanutuni yang memang cukup sering didatangi pendaki. Air terjun ini tingginya 20 meter. Kami diajak Bang Ato melihat air terjun tersebut, dan rekan-rekan lelaki saya langsung mandi-mandi. Saya sih kepengen, tapi nggak punya temen wanita haha. Jadi mending besok saja saya melipir sendirian cari spot di sungai. Harus berani.

Salah satu air terjun yang ditemui.
Hari kedua di Waisanutuni, seperti biasanya kami berpencar untuk mencari gua. Sepanjang penelusuran, hingga siang hari saya dan Bang Ato tidak berhasil menemukan satu gua pun. Kami melihat sebuah tebing dan menduga ada gua pada bagian atasnya karena kami seperti melihat bercak-bercak kotoran kelelawar di tepiannya, namun apadaya kami tidak mengeceknya karena cukup tinggi. Hingga akhirnya kami hanya menelusuri sungai, ke arah atas dan selalu takjub ketika menemukan air terjun-air terjun mini di sepanjang alirannya. Sampai-sampai saya berpikiran untuk membuat divisi susur sungai saja ketimbang susur gua, haha. Ketika hari mulai sore, kami mengeplot posisi kami di peta dan ternyata kami jalan cukup jauh dan hampir masuk area termin sebelumnya di Waensela. Akhirnya kami putuskan kembali lagi ke camp. Di perjalanan pulang Bang Ato mengambil rebung untuk makan malam kami nanti. Sampai di camp, saya melipir ke sungai menjauhi camp untuk mandi yang tetep aja bikin parno meskipun saya tahu tidak akan ada orang di hutan belantara ini yang bakalan mengintip, haha. Malamnya kami pesta makan rebung (bambu muda) dan sayur paku. Kata Bang Ato kami kalo boker bisa-bisa keluarnya pagar (got this joke eh?).
Hari-hari terakhir kami survey gua tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Waisanutuni rupanya masih belum berbaik hati untuk menyingkapkan gua-guanya kepada kami. Karena tidak menemukan satu pun gua, kami memutuskan kembali ke Desa Kanikeh untuk rehat sejenak sebelum lanjut lagi ke Hatu Mere-Mere, area di bawahnya Kanikeh dimana kami melihat bentukan alam yang cukup unik: batu besar di tengah hutan. Teman teman kami yang di Desa Kanikeh heran karena kami kembali lebih cepat dua hari daripada jadwal. Kami pun grasak-grusuk cuci alat dulu di sungai dan packing-packing untuk kembali survey esok harinya ke Hatu Mere-Mere. Perjalanan ke Hatu Mere-Mere tidak lama, satu jam dari Kanikeh kami langsung dapat melihat batuan besar yang langsung kami eksplorasi bagian dalamnya. Lagi-lagi kami tidak menemukan apapun. Hanya batuan besar yang ada di tengah hutan, aneh dan nampak seperti alien. Walhasil hari itu kami langsung kembali lagi ke Kanikeh, dan bergabung bersama tim untuk membantu kegiatan yang mereka lakukan. Masih ada hari besok dimana mereka akan memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air dari sungai menuju keran air yang berada di tengah desa.
Ohiya, saya tidak menceritakan dengan lengkap kegiatan yang dilakukan teman-teman di luar tim caving karena saya memang tidak melakukannya langsung. Lebih khususnya kegiatan di desa Kanikeh yang hari-harinya diisi dengan kegiatan belajar mengajar, penelitian arsitektur desa, penelitian sungai, sosialisasi porter, sosialisasi bambu, dan pemasangan pipa air. Pada hari-hari terakhir di Kanikeh di mana persediaan makanan telah habis, dua orang teman saya dibantu anak anak desa berburu bekicot 2 plastik, hoek. Saya sendiri tidak doyan, dan tidak turut memakannya yang berujung dimarahin tim konsumsi yang sudah bersusah payah memasakkannya, haha maafkan saya.


Bagian Sebelumnya:





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo sini dikomen dikomeen :)