Jumat, Desember 14

Misi Kepercayaan

Haloo apa kabar? saya melewatkan bulan November :(
Tak apalah, Desember belum lama berjarak, dan izinkan saya menyampah lagi di tengah-tengah garapan City Hotel saya. Gara-gara Pak Jo*et mau nikahan tanggal 21, jadi kelompok saya mesti ngumpul gambar tanggal 18 :((. Padahal yang lain masih jauuuh tanggal 8 Januari nanti. Kalo nggak kiamat kali ya haha.

Tapi masalahnya mau nyampah apaan?

*krik*

Di depan saya anak-anak lagi ngerjain sayembara Futurarc. Lalu saya bertanya (pada diri saya)? kapan bakal ikut sayembara? payah nih, gapernah nyoba hingga detik ini pun. Kenapa ya, mungkin gapernah sempet, atau saya yang terlalu malas, atau yang lain-lainnya. Tapi masih ada niat kok semoga -,- nunggu saya selow aja sih.

Sotoy-sotoy-anku: Arsitek itu mestinya bisa menguasai berbagai macam bahasa. Nggak cuma bahasa arsitek tok. Dia mungkin boleh berkoar-koar tentang konsepnya, keunggulannya, kecanggihannya, kefilosofiannya, ketransformasinya. Kadang mahasiswa seringkali terjebak dalam hal itu (subyek nyata: saya). Dan yang diubek-ubek ya ituu aja. Keindahan fisik itu sangat penting memang. Selama dosen melihat apiknya gambar kita, sedapnya poster presentasi kita, itu dianggap cukup. Bisa diartikan mahasiswa itu hanya mengejar nilai saja.
mungkin masih bisa ditolerir jika hanya dalam tingkat tugas kuliah. Coba kalau proyek nyata. (saya agak bingung ini mengarah kemana haha). mungkin jadinya adalah segala yang serba fungsional.

Kemarin waktu kuliah Arsitektur Vernakular, Pak Pradip cerita tentang bergesernya nilai-nilai kepercayaan manusia jaman sekarang. Tentang makrokosmos dan mikrokosmos. Di Jogja, ada suatu nilai tentang gunung dan laut. dimana antara gunung dan laut adalah sebuah garis orientasi bagi masyarakat. Gunung dan laut adalah utara dan selatan. Lalu diantaranya ada sebuah keraton tempat sultan bertahta. Makannya orientasi keraton adalah utara-selatan, ada alun-alun lor dan alun-alun kidul. Di gununglah tempat bersemayam 'Dewa', dan di laut ada sebuah kerajaan besar yang dikuasai Nyi Roro Kidul. Pada titik tengah keduanya berdirilah pihak 'netral', yang menghubungkan gunung dan laut, yakni keraton. Pun muncullah berbagai macam 'ritual' yang berhubungan dengan ketiganya. Dan keraton masih melestarikannya hingga kini.

Berbicara mengenai Keraton berbicara pula tentang Sri Sultan. Awalnya saya gak tahu menahu tentang kisah kesultanan Jogja ini, dan diantara semua sultan, yang paling saya sering denger kisah-kisah 'kehebatannya' adalah Sultan HB ke-IX. Mungkin Sultan IX betul-betul luar biasa pada jamannya, coba saja search sendiri infonya. Mungkin saya juga takjub karena mendengar kisahnya dari orang yang pernah 'bertemu' dengan Sri Sultan sendiri.

*boleh dong ya cerita dikit*

Suatu ketika saya pergi caving ke daerah Purworejo, bagian perbatasan Jogja. Gua Seplawan namanya, bagi warga sekitar gua tersebut tidaklah asing karena memang telah dijadikan obyek wisata. Kami singgah di sebuah basecamp yang tak asing pula bagi mapala-mapala yang sering bermain ke Purworejo. Basecamp tersebut adalah rumah seorang pria paruh baya yang akrab kami panggil 'Mbah Cokro'. Rumah sederhana dengan dinding gedek dan lantai tanah. Beliaulah yang menemukan sebuah arca emas di dalam Gua Seplawan, arca berupa sepasang pengantin berukuran tinggi sekitar 30 cm. Imbalannya, beliau diberi penghargaan berupa nominal uang yang sangat besar pada jamannya (lupa saya jumlahnya) dan sebuah sertifikat jadul tulisan tangan yang dilaminating. Mbah tidak sungkan memperlihatkan sertifikat tersebut beserta foto arca aslinya (yang sudah lusuh pula). Katanya sih sekarang arca emas tersebut disimpan dalam museum (entah apa), tapi beliau lebih percaya bahwa arca telah berpindah tangan ke seorang kolektor di luar negeri. Tak ada yang tahu.

Mbah Cokro cerita panjang lebar tentang masa dulu, sebagian besar menggunakan bahasa Kromo inggil. Saya bersyukur masih bisa kromo dikit-dikit *haha fail*. Kalo ndegerin paham lah, tapi kalo ngomong yaa gitu deh. Intinya saya masih bisa menikmati cerita Mbah Cokro, apalagi waktu cerita tentang Sultan HB IX. Kata beliau, dulu Sultan pernah mengunjungi Gua Seplawan, katanya hanya Sultan yang bisa 'melihat' hal-hal lain di dalam gua. Sultan datang untuk 'berziarah' kepada leluhur-leluhur. Mbah Cokro pantas berbangga hati karena diutus menemani kanjeng sultan menelusuri gua. Karena memang Mbah Cokro yang paling mengerti isi dalam gua. Kanjeng Sultan, Mbah Cokro, dan Pendamping sultan lainnya memasuki gua dan pada suatu titik (sekarang katanya pas bagian batas terakhir pengunjung) Sultan menangis. Saya lupa tepatnya karena apa, tapi di titik tersebut Sultan membaca sebuah tulisan sanskerta yang bermakna tentang perintah-perintah kepada umat manusia. Ada banyak  kalimat, salah satunya bermakna: Jangan sombong jika tidak ingin celaka. Beberapa kalimat lain tidak tepat saya pahami karena keterbatasan kromo inggil saya :(. Dari beliau, saya bisa merasakan 'aura' istimewanya Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX. Ya, karena Mbah Cokro bercerita tidak hanya dari mulut, tapi juga mata dan hatinya (ciah). Dan saya bersyukur masih bisa melihat bukti-bukti adanya nilai kepercayaan (berhubungan denga kuliah Arsitektur Vernakular tadi).

Selain tentang Sri Sultan beliau juga berkisah tentang Bung Karno, Bung Hatta, dan sejarah-sejarah lain yang mungkin tidak tertulis di buku sejarah sekolah-sekolah. By the way, Mbah pernah salaman sama Bung Karno lhoo *applause*. Ya, cerita yang istimewa, terlepas anda percaya atau tidak hadir dalam saksi-saksi sejarah yang kian lama kian buram. "Saya itu ndak pintar, tapi tahu" kata beliau dengan rendah hati.

Saya menikmati, entah dari gaya Mbah Cokro berbicara (sangat santun), ketajaman ingatannya, sikap menerima beliau terhadap siapapun yang berkunjung padanya. Seolah Beliau tidak sungkan-sungkan bercerita tentang hal yang sama berulangkali kepada tamunya. Mungkin kalau saya kesana lagipun, saya akan tetap bahagia mendengar kisah yang sama :D.


ini cucunya Mbah Cokro, dia joget karena Mbah niruin suara gamelan (dengan indahnya)



mulut Gua Seplawan (ga keliatan ya?)

Well selalu menarik membahas nilai-nilai ini. Dan caving memang selalu dekat dengan local wisdom, that's why i like it haha. Karena saya berusaha mencari 'nilai-nilai' itu pula dalam setiap perjalanan, kemanapun.

Kata Pak Pradip lagi, setiap karya itu membawa suatu 'misi'. Diantara semuanya, 'misi' kepercayaanlah yang paling kuat. Tapi semakin lama 'misi' itu semakin geser, kepercayaan semakin kabur. Pesan pak Pradip sebelum kuliah usai:

"kalian boleh membuat yang macem-macem, neko-neko, tidak masalah kok teknologi, modern dan sebagainya, asal kalian masih memegang nilai-nilai tersebut"

Semoga mahasiswa arsitektur sekarang sanggup demikian. Termasuk saya haha. Semoga. (makannya jangan males)

Mungkin selain bahasa arsitektur, ada juga bahasa kemanusiaan, bahasa kesederhanaan, bahasa nusantara. Daaan sadar atau tidak kayaknya tulisan ini pun masih dipengaruhi novel Bilangan Fu :D

selamat menjadi arsitek yang berbesar jiwa dan bijaksana!

4 komentar:

  1. tems melalui tulisanmu ini aku udah bisa ngebayangin orang seperti apa Mbah Cokro, tipikal tetua Jawa, santun, rendah hati, dan berbobot omongannya :)

    memang tam, banyak nilai2 di Jawa yang sudah tergeser modernisasi. Tapi sungguh kalo kita renungkan lagi, apalagi dibimbing dengan native macam Mbah Cokro ini, atau dosenmu yang insightnya luas, bahwa nilai2 itu sayang banget kalo pudar, karena sadar atau tidak, berhubungan erat dengan norma kehidupan kita sehari2 :) (sotoymodeon)

    kangen tami :)

    BalasHapus
  2. betul sekali cims, omongan mbahnya terlalu membekas di hati hahaha
    mari-mari jangan lupakan kearifan lokal sekitar kita, sejauh apapun kita berada :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. walaupun kata kata mbahnya membekas di hati,, klo nulisnya g dari hati g kan dapet feelnya,, hahaha sok asik,, mau nyapa ja,, asslamualaikum,,

      kangen tami:)

      Hapus
    2. wa'alaikumsalam biboong wahaha, tapi gue udah nulis dari hati kook *maksa*

      Hapus

ayo sini dikomen dikomeen :)