Setelah memaksakan diri beberapa waktu terakhir untuk menulis, di tengah-tengah minat menulis yang kian menghilang saya mencoba memilih topik ini, hehe.
Mungkin pertanyaannya bukan ‘Arsitektur Untuk Siapa?’ Mestinya sebelum ke sana, diawali dulu dengan ‘Arsitektur Untuk Apa?’ Hmm, Kalau boleh jujur saya selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan filsafat semacam ini, haha. Selayaknya ada pertanyaan ‘Kamu hidup di dunia itu untuk apa?’ mending pura-pura amnesia aja deh sambil berbinar-binar memandang bintang-bintang di langit. Saya nggak pernah merasa pintar untuk bisa mengurai jawaban yang bisa membuat saya terlihat keren. Jadi rasanya jawaban-jawaban yang muncul hanya berulang-ulang berputar di benak saya tanpa pernah bisa keluar baik melalui verbal maupun tulisan. Lalu akhirnya tersesat dan mentok. Sekian.
Semoga kali ini tidak.
Jadi, setelah hampir 2 tahun dinyatakan lulus dari universitas itu sebagai sarjana arsitektur, saya belum benar-benar mengenal dunia ini. Nggak tau sih ya kalau yang lain.
Sepengamatan saya terhadap orang-orang di sekitar, arsitektur itu selalu dianggap eksklusif, sophisticated, hanya bisa diraih kalangan tertentu. Saya rasa itu benar! Berapa persen dari seluruh masyarakat kita menggunakan jasa arsitek untuk membangun rumahnya? Jika skalanya sudah gedung tiga lantai ke atas atau fasilitas publik skala besar, okelah sudah pasti menggunakan jasa arsitek, setidaknya ada campur tangan ahli bangunan. Faktanya yang mampu membangun gedung di atas dua lantai sudah pasti memiliki uang untuk tukang gambar bukan?
Lalu bagaimana untuk rumah tinggal?
Saya teringat seorang ibu juragan toko bahan bangunan di suatu daerah. Suatu ketika kantor saya sedang ada proyek di dekat tempat ibu tersebut. Otomatis semua material untuk proyek dipesan ke toko beliau. Beberapa kali ibu ikut mengantar material ke proyek dan melihat perkembangan rumah yang sedang dibangun. Ketika sedang transaksi, ibu berkata: “Gimana sih kok bisa bagus gitu rumahnya? saya bikin rumah kok jelek ya” yang kemudian oleh teman saya dijawab “Iya Bu, soalnya kami memakai jasa arsitek, jadi bisa bagus”
Dari percakapan sederhana itu, saya menyimpulkan bahwa sang ibu menganggap rumah dalam proyek tersebut masuk dalam kategori ‘bagus’. Sebagai catatan, rumah yang sedang dibangun tersebut adalah rancangan rumah ala-ala developer, bentuk kavling dengan tipe tertentu. Terbayang kan? Baguskah? Relatif, sebagian orang akan menganggap bagus dan sebagian tidak. Sebagian orang bermimpi memiliki rumah di salah satu kavling tersebut, sebagian mengutuki pembukaan lahan untuk kavling-kavling perumahan baru. Biasa terjadi bukan? yang iya dan yang tidak. Yang senang dan yang benci.
Sejujurnya saya sedikit bersimpati karena ibu yang notabene juragan tajir di wilayahnya dan harusnya mampu membayar jasa arsitek, tidak mendapatkan rumah yang diinginkannya karena dirasa jelek. Ibu yang mestinya bisa memiliki rumah dengan kualitas ruang yang baik tidak mendapatkannya karena ketidakpahaman beliau mengenai jasa arsitek. Padahal ibu ini paham betul masalah material bangunan.
Saya sering web-walking, melihat-lihat website para arsitek atau konsultan yang sudah terkenal di Indonesia, atau yang menuju terkenal. Sok atuh googling daftar konsultan arsitektur Indonesia dan buka websitenya satu persatu. Karya-karyanya keren, tampilan websitenya dengan desain yang sangat masa kini -simple yet elegant. Sungguh terpoles dengan sempurna! Yang saya amati, hampir semuanya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama websitenya. Syukur-syukur jika ada pilihan bahasa Indonesianya. Jadi siapakah kemungkinan calon klien yang akan menggunakan jasa mereka?
Saya memahami bahasa Inggris membuat kesan yang modern, futuristik, dan berkelas. Saya juga masih sok keminggris kok pada tulisan-tulisan di blog ini, hehe. Juga saya akui dalam berbahasa setengah Inggris ini saya memiliki tujuan-tujuan politis untuk terlihat lebih berkelas. Positif saya, penggunaan bahasa Inggris ini memang sebuah upaya untuk maju, agar tak tertinggal zaman, dan agar dunia internasional mengakui arsitektur Indonesia pantas bersaing di kancah global. Agar karya anak bangsa kita diakui dunia!
Sampai sini saya semakin bingung. Jadi berarsitektur itu untuk siapa? ‘for everyone’ kata salah satu website. Betulkah? Or ‘for those who can afford to pay’?
Sebentar, sepertinya perlu dibalik pertanyaannya, siapa yang butuh berarsitektur?
Singkat saya berlaku arsitektur maknanya juga tidak sesempit berprofesi arsitek. Manusia awal yang pertama kali membangun rumah, tidak sekedar numpang neduh di gua, juga sudah berlaku arsitektur bukan? Sejak kapan akhirnya muncul jasa perencana bangunan ya? Atau mungkin lama kelamaan manusia merasa kurang puas dan jenuh dengan ruang yang mereka tinggali lalu membutuhkan tambahan estetika sehingga bam! Muncullah terminologi arsitektur. Toh pada akhirnya dalam suatu kelompok masyarakat, yang mampu membangun sebuah rumah terspesialisasi kepada orang-orang tertentu. Jika pada masa purba tiap kepala rumah tangga mampu membuat rumahnya sendiri, semakin kemari hanya tukang yang mampu membuatnya.
Jadi kelihatan sekali ini jika saya masih kurang banyak membaca sejarah tentang dunia arsitektur, haha.
Hmm, jadi sementara bisa saya simpulkan di sini, semua orang berlaku arsitektur tapi masih terbagi-bagi lagi menjadi pelaku dalam profesi arsitek sebagai jasa perencana bangunan dan pelaku dalam bentuk masyarakat yang membangun rumahnya berdasarkan pengalaman (entah itu turun menurun, tradisi, atau meniru dari bentuk-bentuk rumah di sekitarnya).
Pertanyaan berikutnya menjadi siapa yang butuh jasa arsitek? (masih dalam lingkup rumah tinggal)
Pertama, orang yang menginginkan rumahnya terbangun secara berkualitas. Kedua, dia memiliki modal untuk tidak hanya sekedar membangun rumah, tetapi juga menyewa jasa arsitek. Untuk yang ini masih saling berkesinambungan, arsitek juga akan menyesuaikan budget klien dalam merancang rumahnya. Ketiga, hmm mungkin dia mesti paham mengenai adanya arsitek sebagai penyedia jasa perancangan rumah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pasar jasa arsitek hanya ramai di area urban. Kebutuhan begitu besar di sana. Terlihat persentase teman angkatan saya yang memilih untuk bekerja (tentunya yang belum keluar dari jalur profesi arsitek) di Jakarta ketimbang di daerah. Mungkin yang membutuhkan memang hanya masyarakat urban, kaum menengah ke atas. Masyarakat yang masih menjaga tradisi dalam pembangunan rumah tinggalnya sesungguhnya tidak memerlukan jasa arsitek, karena mereka sudah turun temurun memiliki tata cara pembangunan rumahnya sendiri. Dengan catatan tradisi tersebut belum tercampuri unsur-unsur modern.
Sedikit intermezzo, saya teringat ketika mengikuti ekspedisi ke Pulau Seram bersama mapala Satu Bumi, kami mengunjungi desa bernama Huaulu di kaki Gunung Binaiya. Penduduk desa tersebut tergolong penganut animisme dan memiliki bentuk rumah yang masih tradisional. Bentuk rumah berupa rumah panggung kayu setinggi kurang lebih satu meter. Dindingnya terbuat dari susunan pelepah pohon sagu yang ditumpuk vertikal. Atapnya menggunakan rumbai. Penataan ruangnya hampir seragam, ruang depan sangat bersifat publik dengan dinding yang terbuka (orang dari luar dapat melihat aktifitas di dalamnya). Ruang yang tertutup hanyalah ruang untuk tidur. Seperti terlihat pada gambar berikut:
Lalu, tersebutlah seorang keluarga pendatang yang akan membangun rumah di antara rumah-rumah penduduk asli desa. Keluarga terebut kabarnya berasal dari Papua. Saya pribadi hanya sempat melihat namun tidak mengobrol dengan mereka, jadi tidak tahu menahu cerita kenapa akhirnya mereka datang ke Huaulu. Keluarga pendatang ini sedang dalam proses membangun rumahnya yang notabene memiliki bentuk berbeda dari rumah penduduk asli:
Saya langsung dapat menilai rumah keluarga pendatang ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Dindingnya tidak menggunakan pelepah sagu melainkan papan kayu yang menutup full sehingga dari luar orang tidak dapat melihat aktifitas di dalamnya. Perkuatan strukturnya menggunakan paku. Setelah sekian tahun lamanya desa Huaulu ini memiliki konfigurasi rumah-rumah tradisional yang tipikal, kemudian di waktu yang sama tepat ketika saya dan teman-teman mengunjunginya di tengah tahun 2013 muncullah satu rumah yang berbeda. Saya bertanya-tanya, apa yang akan terjadi setelahnya ya? apakah satu rumah ini akan membawa dampak bagi orang-orang setempat? Mungkinkah kehadirannya dapat membuat penduduk lain meniru apa yang dibawa oleh pendatang tersebut karena rumah dengan papan kayu terbukti lebih kuat ketimbang menggunakan pelepah pohon sagu? Ego pribadi saya, dampak yang terlihat adalah ketidakserasian antara rumah yang baru dengan rumah yang sudah ada terlebih dahulu. Sehingga rasanya ada yang mengganjal ketika memandang hamparan rumah-rumah tersebut, ada satu yang berbeda. Saya agak kurang paham sih teori-teori apa yang dapat menjelaskannya. Di luar itu semua, perubahan tampaknya akan selalu terjadi. Positif negatifnya, silahkan dinilai masing-masing saja.
Selain itu menurut saya ada golongan lain lagi, yakni masyarakat daerah dari kalangan berada yang berkeinginan untuk menjadi modern, namun belum sepenuhnya memiliki pengetahuan perihal arsitektur. Yang kemudian terjadi adalah mereka mengadaptasi bentuk-bentuk megah tanpa benar-benar menerapkan prinsip-prinsip arsitektural. Beberapa saya temui rumah megah besar, namun sirkulasi udara tidak berjalan maksimal sehingga begitu pengap ketika malam hari semua pintu ditutup.
Golongan masyarakat lainnya, nanti saya pikirkan lagi.
Sekarang mari kita lihat dari sisi para arsiteknya. Saya rasa merupakan pilihan masing-masing arsitek untuk menentukan arah mana jasa arsitek yang mereka tawarkan. Pasar mana yang akan mereka sasar. Objek arsitektur apa yang akan mereka buat. Banyak tokoh-tokoh besar arsitektur di negara ini yang telah melahirkan karya-karya luar biasa. Dari aliran futuristik hingga yang melokal. Dari yang nilai proyeknya miliaran hingga yang super hemat di bawah 100 jutaan atau bahkan puluhan juta. Dari yang kliennya hanya kalangan elit hingga yang rela membantu tanpa bayaran. Saya salut dengan arsitek yang mampu membuat karya yang baik tanpa harus mengeluarkan biaya banyak. Jadi permasalahan arsitektur untuk siapa tidak lepas dari peran para arsitek itu sendiri. Tinggal seberapa bijaksanakah keputusan yang diambil arsitek dalam berlaku arsitektur.
Hmm, sepertinya saya sudahi saja tulisan ini. Lalu apakah sudah terjawab pertanyaan dalam judul di atas? Saya sendiri masih belum benar-benar tahu dan tampak akan terus mencari jawabannya. Setidaknya rindu menulis saya sedikit terbayar, hehe. Semoga berkenan.
Sudah ah, saya mau membaca ulang buku pengantar arsitektur dulu..
Tami!
BalasHapusWow, artikel yg menarik, jadi arsitektur untuk siapa? Ya tentu saja untuk semua masyarakat dan semua golongan.
BalasHapus