Kamis, April 6

Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 3)


1-2 September 2013
“Perpisahan”
my host family, bareng sama anggota tim perempuan lain

Pada akhirnya tibalah saat kami harus selesai dengan segala macam kegiatan kami selama kurang lebih satu bulan di Binaiya ini. Artinya kami harus berpisah dengan orang-orang yang kami temui selama di sini. Keluarga-keluarga yang rumahnya kami tinggali, Pak Sonri selaku sekretaris desa, Bang Ampi, seluruh anak-anak sekolah yang sempat kami ajar, bu guru dan pak guru, yang tidak bisa kami bantu lebih lama lagi daam mengajar murid-murid. Terlebih, kami akan segera meninggalkan megahnya gunung Binaiya dengan beberapa titiknya yang kami sempat singgahi.
Sebelum benar benar pergi, kami melakukan rapat koordinasi pada dua malam terakhir kami di Kanikeh. Kami membahas segala hal yang kami dapat selama ekspedisi dan apa kira-kira yang dapat kami berikan sebelum meninggalkan orang-orang yang telah banyak membantu kami. Beberapa masalah dibahas untuk kemudian disampaikan kepada pengurus desa ataupun guru-guru. Kami juga mendengar kabar ahwa nona guru akan mengajak penduduk setempat untuk mengadakan ‘pesta’ pelepasan kami yang akan sekaligus kami manfaatkan untuk momen perpisahan.
Keesokan harinya, tak seperti biasanya kami makan begitu banyak. Pagi hari, mama tempat kami menginap memasakkan udang dan ubi-ubian (yang sangat jarang sekali mereka lakukan). Siang harinya, acara perpisahan diadakan di ruang kelas. Saat kami datang, makanan telah dihidangkan di meja tengah. Saya cukup terharu karena sejujurnya untuk makanan sehari-hari mereka pun tidak mudah mendapatkannya. Pada momen ini, masing-masing keluarga menyumbangkan makanannya demi melepas kami. Acara diawali dengan sambutan dari nona guru dan ucapan terimakasihnya untuk kami. Dilanjutkan oleh Pak guru, dan pak Sonri. Lalu kami, diwakili oleh Adoy selaku ketua tim, juga menyampaikan ungkapan terimakasih dan beberapa pesan singkat untuk mereka. Selanjutnya kami langsung menyantap hidangan. Semua yang hadir turut bersuka cita menyantap papeda, patatas, kasbi, dan lauk pauknya. Sisa hari itu kami habiskan untuk packing dan persiapan terakhir sebelum turun.

suasana perpisahan

anak-anak yang menghadiri acara perpisahan

3-4 September 2013
“Duriannya benar-benar Runtuh”

Sepertinya saya harus menyediakan satu judul sendiri untuk peristiwa yang kami alami ini selama perjalanan pulang dari Kanikeh. Di hutan sebelum kami mencapai Desa Huaulu, kami akan melewati sebuah area hutan yang ditumbuhi pohon-pohon durian. Ajaibnya, pohon-pohon ini memiliki musimnya sendiri. Berbeda dari musim durian pada umumnya, pohon-pohon durian di sini akan berbuah dua kali dalam setahun. Saat perjalanan kami pulang itu adalah saat yang tepat ketika durian-durian sudah mulai matang. Kami tidak mendapatinya ketika perjalanan berangkat satu bulan yang lalu karena memang belum saatnya matang. Menurut sumber, hutan durian ini sebelumnya pernah mendapat suntikan dari bule yang pernah datang. Saya sendiri kurang paham suntikan macam apa dan atas dasar apa bule ini menyuntikkan sesuatu di pepohonan durian ini. Kabar matangnya durian ini tentunya sudah tersebar ke penduduk setempat. Entah itu di desa-desa gunung maupun desa pesisir. Ketika kami masih di Kanikeh pun, orang-orang yang naik ke Kanikeh dari bawah membawa barang satu-dua durian dan mengabarkan ke kami bahwa di bawah sudah mulai matang duriannya. Membuat kami tak sabar untuk menikmatinya sendiri.
Pagi itu dari Kanikeh kami akan langsung turun karena packingan kami telah siap. Kami sudah berpamitan hari sebelumnya sehingga pagi ini kami hanya pamit kepada masing masing keluarga inapan kami. Sembari jalan turun melalui rumah-rumah penduduk, kami hanya melambaikan tangan dan tersenyum. Semua ata menatap kami, seorang ibu yang duduk di teras rumahnya meneriaki kami selamat jalan, selamat pulang kembali ke jogjakrta! Kami merencanakan turun dalam waktu dua hari agar perjalanan terasa santai. Pun kami sudah ingin menikmati pesta durian di bawah yang artinya kami harus menyiapkan cukup waktu untuk berpesta, haha. Hari pertama kami hanya habiskan sampai Desa Roho. Kami menginap di tempat warga, yang malamnya berbaik hati memasakkan kami kasbi (singkong) goreng.
Besok harinya kami melanjutkan perjalanan di pagi hari. Kami hanya tinggal melewati satu desa sebelum kembali menemui aspal dan melihat kendaraan lalu lalang. Mendekati punggungan terakhir sebelum desa huaulu, aroma durian mulai tercium. Kami mempercepat langkah kami karena kami tahu waktu pesta akan segera tiba.
Saya seorang penikmat durian, jadi saya akan menceritakan betapa surgawinya tempat ini. Sungguh. Kami berjalan di antara pepohonan durian matang. Saat itu hanya ada kami yang sedang berjalan di area tersebut. Karena biasanya beberapa warga pun mencari-cari durian untuk kemudian dijual di desa. Karena hutan begitu sepi maka sesekali terdengar suara bedebum, tanda durian jatuh dari pohonnya. Saat itu pula tanpa ba bi bu kami bergegeas ke arah suara. Satu buah langsung kami sikat dalam waktu beberapa menit. Saya pribadi sedikit was-was dan tetap melihat-lihat ke arah atas, berjaga-jaga jika duriannya tiba-tiiba jatuh ke kepala.
Saya gambarkan, dalam beberapa jam ke depan kegiatan kami hanyalah cari durian jatuh-datangi-buka-makan-cari lagi-buka-makan-cari lagi-buka-makan. Saya mendapati diri saya ikut-ikutan nggragas. Siapa yang akan menolak mendapat durian gratis langsung dari pohonnya! Hingga akhirnya kami benar-benar mabok. Para lelaki sepertinya memiliki kapasitas lambung yang lebih besar daripada saya. Ketika saya memutuskan menyerah, mereka masih sibuk mencari lagi. Bahkan di detik detik terakhir, mereka sudah melupakan etika membuka durian dengan baik dan benar. Mereka semakin buas karena membuka kulit durian dengan cara menginjak dengan kaki! (maafkan teman-teman saya ya, pembaca, situasinya memang panas, haha). Oke, mungkin benar-benar sudah mabok. Sebelum mereka mulai membuka kulit durian hanya dengan gigi dan melakukan praktik debus, kami rasa kami harus hentikan semua ini dan kembali melanjutkan perjalanan. Itu adalah pesta durian terbesar yang pernah saya alami, dan mungkin tidak akan saya dapatkan di tempat lain. Ohya, kami memutuskan tidak banyak berfoto-foto dalam pesta durian ini, karena kami tidak ingin membuat teman-teman kami di jogja iri. Terlebih lagi, kami benar-benar sibuk makan durian dan lebih memilih untuk menikmatinya ketimbang harus berfoto-foto.
Siangnya kami singgah di rumah mama tempat kami tinggal di hari-hari keberangkatan kami sebelumnya. Mama menyambut kami dengan hangat karena memang telah mengetahui bahwa kami akan datang hari itu. Beliau telah menyiapkan makanan favorit kami semua: nasi!. Setelah berminggu-minggu memakan sagu dan ubi-ubian, kami mendapat hadiah nasi dari mama karena tahu kami pasti rindu makanan pokok kami yang mayoritas orang Jawa ini. Betapa berterimakasihnya kami terhadap beliau.  Dengan lauk pauk ikan, kami yang baru saja pesta durian ini masih dengan nikmat menyantap makanan mama. Sesudahnya, kami langsung berpamitan kembali untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan kami hari itu, Pusat Informasi Masihulan.

5-6 September
“Holiday”
naik long boat milik Bang Alay

Setelah satu bulan penuh melaksanakan program kegiatan yang terjadwal, kami menyisihkan waktu di penghujung hari-hari kami di pulau ini untuk berlibur. Sudah tentu pantai adalah lokasi yang kami pilih untuk menghibur diri setelah lama berada di gunung dan hutan tropis lembab. Lucunya, hampir semua kaki kami terkena serangan kutu air. Kondisi hutan yang lembab dan kaki yang tidak pernah benar-benar keringlah yang menyebabkan kaki kami terserang kutu yang tidak kasat mata itu, dan air laut adalah obat yang ampuh untuk membasmi mereka tanpa ampun. Oke, saya kurang paham korelasinya bagaimana, haha, yang jelas kaki saya sembuh karena main air laut dan terpapar sinar matahari.
Kami akan berlibur selama dua hari dan Sawai adalah lokasi yang kami kunjungi karena sangat dekat dari lokasi basecamp kami di Pusat Informasi Masihulan. Kami hanya butuh mencegat truk yang lewat ke arah timur untuk menumpang beberapa kilomater sebelum turun di pinggir jalan untuk berjalan kaki ke arah pantai. Kami sudah merencanakan untuk meminjam sebuah basecamp tepat di tepi laut milik Taman Nasional. Lalu menyewa perahu (biasa disebut long boat) milik Bang Alay (beserta Bang Alaynya sebagai sopir, haha) selama kami liburan.
Setelah berjalan kaki, kami menuju arah tanaman bakau yang menandakan batas daratan untuk bertemu Bang Alay yang telah menanti kami dengan perahunya. Kami langsung dengan semangat menaiki perahu tersebut dan langsung bergerak melalui hutan bakau sebelum akhirnya keluar ke laut lepas. Untuk menuju basecamp milik Taman Nasional ini memang lebih mudah ditempuh melalui jalur laut ketimbang darat karena letaknya yang benar-benar di tepi laut. Sebelum sampai ke lokasi, kami mampir dulu di desa untuk mengisi amunisi perut kami yang telah habis ini.
                Basecamp yang kami singgahi berupa bangunan panggung kayu mungil dengan dermaga kecil di depannya. Tidak ada kasur, namun kami sudah siap sedia dengan perlengkapan outdoor kami. Kami juga dipinjami beberapa buah alat senorkling milik Taman Nasional. Sisa hari itu kami habiskan untuk senorkling di beberapa titik laut, menikmati kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya, memancing ikan, atau hanya bermalas-malasan di dermaga. Malamnya, Bang Alay mengajak beberapa orang untuk memancing ikan, dan bahkan beliau sendiri akan unjuk kebolehan menyelam sambil menombak ikan. Saya  tidak ikut karena memilih bermalas-malasan di basecamp sambil ngobrol-ngobrol, because it’s laaazy time. Beberapa saat kemudian yang pergi mencari ikan kembali dengan hasil buruan yang cukup banyak. Kami melewati malam dengan membakar ikan dan menyantapnya di tepian dermaga, bahkan beberapa ikan berwarna bagus dan tampak sayang untuk dimakan, haha.
basecamp milik TN Manusela

Pertama kalinya main snorkeling

numpang foto di penginapan sebelah
                Esok harinya kami hanya punya waktu setengah hari, karena harus mengejar waktu untuk kembali lagi ke Masohi. Kami telah menyewa tronton Kabaresi lagi untuk mengangkut kami kembali. Pagi hari sebelum kembali pulang ke daratan, kami mampir sejenak ke resort yang cukup mewah dan terkenal, pantai ora. Kabarnya tempat ini adalah yang paling mahal di sini karena fasilitasnya standar bule. Arsitekturnya juga menarik. Kami hanya berfoto-foto sejenak, namun sebagian besar dari kami memang sudah tidak berminat berfoto-foto ria. Berakhir dengan mutungnya seksi dokumentasi kami yang sudah susah payah memasang kamera di tripod dan mencari angle untuk foto tim, namun tidak ditanggapi kami-kami, haha. Setelahnya kami menyempatkan untuk sekali lagi bermain snorkling di satu titik. Karena tepat pada hari Jum’at, teman-teman lelaki yang muslim akan melaksanakan sholat jum’at di masjid setempat (setelah melewati setiap jum’at di gunung tanpa masjid, haha). Lalu kami para wanita memutuskan untuk mandi di pemandian umum. Sekilas tempat ini seperti kolam renang umum karena telah terpasang keramik-keramik pada tepian kolamnya, namun sebenarnya air di kolam ini adalah mata air yang mengalir dengan sangat perlahan. Kami bertiga berbaur dengan penduduk setempat yang juga memanfaatkan kolam ini untuk berbagai keperluan seperti mandi, mencuci, atau sekedar bermain-main saja.
bakar-bakar ikan

kolam yang airnya mengalir perlahan

                Sebelum kembali ke Pusat Informasi, kami disuruh mampir ke rumah seorang ibu yang pernah disinggahi rekan-rekan kami dari ASC daris Jogja pada dua tahun sebelumnya. Karena kami juga dari Jogja dan saya pun mengenal tim ASC yang waktu itu juga melakukan ekspedisi di Seram, Ibu tersebut senang sekali kami mau mampir. Beliau juga menunjukkan fotonya bersama tim ASC. Kami disuguh makan siang ikan dan sambal colo-colo, sungguh nikmat. Setelah mengobrol
                Kami menunggu datangnya truk tronton Kabaresi karena tim transportasi sudah mengurus dan membayar sewa tronton tersebut. Namun dua jam kemudian, truk yang ditunggu tak kunjung datang. Kami coba menghubungi komandan kabaresi yang telah berjanji menjemput kami, namun tak pernah ada respon meskipun sinyal telah kami dapat kembali. Menit-menit berlalu tanpa kejelasan dan kami hanya berdiam diri di tepi jalanan. Menjelang magrib, ada sebuah mobil Ford Ranger lewat dan kami coba bertanya apakah bisa menumpang sampai Masohi dengan merundingkan ongkos imbalan. Mereka menyanggupinya dan kami bisa bernafas lega karena bisa benar-benar pulang hari itu ke Masohi.
Tak disangka, pemegang kemudi mobil itu benar-benar ‘handal’ dan tak lebih dari 2 jam kami bisa sampai di Masohi. Padahal waktu tempuh normal adalah 4 jam. Dengan kecepatan yang sungguh tinggi di medan yang berliku-liku, kami harus menanggung derita pusing-pusing dan mual-mual, haha. Bahkan beberapa orang teman lelaki yang menempati bagian belakang sampai muntah-muntah. Namun kami sudah sangat bersyukur bisa mendapat tumpangan sampai ke Masohi. Sekitar pukul 19.00 kami sampai di rumah dinas kepala Balai Taman Nasional yang baru saja pensiun, Pak Zulkifli. Beliau telah pulang kembali ke Bogor ketika kami datang ke Seram. Namun masih berbaik hati untuk meminjamkan rumah dinasnya kepada kami untuk disinggahi sejenak. Di situ kami benar-benar merasakan kembali ke rumah, dengan kasur empuk dan AC. Kami beristirahat dengan nyenyak malam itu.

7-11 September 2013
“Back Home”
                Kami masih memiliki tanggungan program ekspedisi, yakni melakukan presentasi ke orang-orang di balai taman nasional sebagai bentuk pertanggungjawaban kami berkegiatan di area Taman Nasional Manusela.Jadwal kami presentasi adalah besok tanggal 9 september, sehingga hari ini kami gunakan untuk persiapan materi presentasi esok hari.
Kami diundang Bang Ato ke rumahnya untuk jamuan makan siang sekaligus menunjungi keluarganya. Bang Ato memiliki empat anak laki-laki yang uniknya kesemua anaknya diberi nama jawa yang berawalan 'su' salah satunya sugiono (sayangnya saya melupakan 3 nama lainnya, haha) . Padahal baik Bang Ato maupun istri tidak memiliki darah jawa sama sekali. Harapan beliau, keempat anaknya dapat tumbuh menjadi orang besar selayaknya Sukarno, Suharto, dan Susilo, ketiga presiden Republik Indonesia yang orang jawa dengan nama ‘Su’ di konsonan pertamanya. Amin ya bang, haha. Cukup lama kami habiskan waktu di rumah Bang Ato, dan memberikan tanda terima kasih berupa sembako untuk keluarganya. Kami rasa sembako memang tidak cukup untuk membalas jasa Bang Ato yang menemani kami selama berkegiatan. Kelak jika kami bertemu kembali, kami akan selalu mengingat kebaikannya dan membantu apa yang kami bisa jika beliau membutuhkan bantuan apapun.
Sisa hari itu kami habiskan sebagai waktu bebas masing-masing. Saya mencoba mengunjungi warung internet setempat karena penasaran setelah berminggu-minggu terisolasi dari dunia luar. Sedikit gagu pada awalnya, dan cukup aneh melihat layar komputer. Tapi selang beberapa menit saya terlarut dengan sosial media. Tujuan utama mengecek dan membalas pesan, kalau kalau ada yang mengirimkan saya ucapan ulang tahun bulan lalu melalui dunia maya, haha.
Malamnya kami serius kembali menyiapkan presentasi, sambil menonton televisi yang pada malam hari itu sedang ada acara pemilihan putri indonesia. Kami sendiri telah melakukan diskusi khusus terkait hasil yang kami dapat di lapangan pada hari-hari terakhir kami di Kanikeh. Kami juga bersiap-siap packing barang bawaan karena setelah presentasi kami akan langsung berangkat ke Ambon. Kami sudah memesan tiket pesawat untuk keberangkatan tanggal 10 siang. Acara presentasi sekaligus momen kami untuk berpamitan dengan pulau ini.
Presentasi dimulai pagi itu tanggal 9 September. Pegawai balai taman nasional berkumpul, meskipun tidak lengkap semua datang. Setelah pembukaan oleh ketua tim kami, Adoy, presentasi dilanjutkan oleh masing-masing bidang sembari kami bercerita mengenai apa yang kami dapat di sana. Saya mendapat jatah menyampaikan beberapa hasil eksplorasi karst. Hasil yang kami sampaikan ditanggapi dengan baik oleh pegawai balai. Kami saling berdiskusi mengenai saran-saran yang kami sampaikan berdasarkan diskusi kami di lapangan.
suasana presentasi di Balai TN Manusela

Siangnya, kami langsung pergi ke arah pelabuhan Amahai untuk kemudian menaiki kapal cepat, menyeberangi laut menuju Pelabuhan Tulehu di Ambon. Sesampainya di Ambon kami mendatangi mess milik pegawai dinas KSDA Ambon yang kebetulan salah satunya adalah alumni Kehutanan UGM. Kami menginap semalam dan keesokan harinya kami harus ke bandara untuk mengambil penerbangan ke Surabaya pada pukul 10.00.
pulaaang

Bagian sebelumnya:
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (Bagian 2)
Catatan Perjalanan Ekspedisi Binaiya, Pulau Seram (bagian 1)

1 komentar:

  1. Hello Tamimi! So happy to see u again telling exciting stories ><
    Dan taukah, kunjungan kamu beberapa hari lalu ke tempatku cukup "menggelitik" rasa pengen blogging aku! Hehehe. Thanks to you :3
    Mungkin karena liat temen2 juga mulai sepi nulis, jadi jarang blogwalking dan jadi mager hehe.
    Oh ya, dulu aku jadi ganti html ku ke https://asfiyaeffendi.blogspot.com dg alasan biar lebih gampang ditemukan dengan nama asli. Hehe.
    Maen sini!

    BalasHapus

ayo sini dikomen dikomeen :)